BIDANG HUKUM

1. Menghitung Peluang Perppu Pengadilan Tipikor
Oleh: Zamrony, S.H., M.Kn.
[Penulis adalah Pembantu Asisten Staf Khusus Presiden Bidang Hukum]
Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 012-016-019/PUU-IV/2006 memberikan deadline pembentukan UU Pengadilan Tipikor sampai dengan 19 Desember 2009. Jika deadline terlewati, Pengadilan Tipikor terancam bubar dan seluruh penanganan perkara tindak pidana korupsi yang ditangani oleh KPK akan dialihkan ke pengadilan umum. Menurut jadwal, DPR menyisakan dua masa persidangan lagi. Yang pertama berakhir bulan Juli 2009, diselingi masa reses yang bertepatan dengan ajang pemilihan presiden, dan yang kedua akan berakhir September 2009. Namun, pembahasan RUU Pengadilan Tipikor justru ditempatkan pada masa persidangan penutup masa jabatan anggota DPR.
Atas dasar itulah, publik melihat peluang pengesahan RUU itu amat kecil jika melihat kalkulasi waktu yang tersedia. Belum lagi, perdebatan alot terkait komposisi hakim ad hoc dan karir, kedudukan Pengadilan Tipikor, hukum acara, dan sebagainya, masih belum menemukan titik terang.
Problem Solving
Andai RUU Pengadilan Tipikor tidak berhasil disahkan DPR, tiada jalan lain untuk menyelamatkan eksistensi Pengadilan Tipikor selain Presiden menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu). UU 10/2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menempatkan Perppu sebagai produk hukum yang memiliki hierarki, fungsi dan materi muatan yang sama dengan UU, hanya saja proses pembentukannya berbeda dengan UU. Jika proses pembentukan UU dilakukan bersama oleh Pemerintah dan DPR dalam keadaan normal, tak demikian bagi Perppu yang diterbitkan tanpa pembahasan terlebih dulu dengan DPR mengingat kondisi abnormal (kegentingan memaksa) yang tak dapat ditangguhkan sampai dengan persidangan DPR berikutnya.
Presiden SBY dalam beberapa kesempatan baik sebelum dan selama masa kampanye Pemilu telah berulangkali mengungkapkan kesiapannya untuk menerbitkan Perppu. Namun, itu saja tak cukup bagi publik terutama pasca rencana KPK menghentikan penuntutan. Publik tetap mendesak agar Presiden SBY mempercepat penerbitan Perppu. Desakan ini sesungguhnya kurang tepat. Justru sebaliknya, lecutan semangat bagi anggota DPR lebih urgen dilakukan saat ini daripada mendesak Presiden. Bagi KPK, penuntutan kasus korupsi harus tetap dilakukan dengan mengingat ‘janji’ Presiden SBY.
Penerbitan Perpu saat DPR sedang melakukan pembahasan RUU berpotensi meningkatkan tensi politik relasi Presiden dengan DPR. Penerbitan Perppu dengan kondisi DPR tak berhasil memenuhi janjinya merampungkan UU dapat dibaca sebagai ‘wanprestasi’ DPR, namun sebaliknya, Perppu akan hadir sebagai ‘prestasi’ bagi Presiden. Tatkala tensi politik merangkak ke titik nadir, penolakan pengesahan Perppu menjadi sesuatu yang amat mungkin.
Pemilihan timing penerbitan akan menjadi salah satu faktor penentu lolos tidaknya Perppu menjadi UU. Jika dihitung dari sekarang, ada tiga opsi dimana penerbitan Perppu dapat dieksekusi Presiden, yaitu sampai dengan masa purna bakti DPR (1 Oktober 2009), pasca purna bakti anggota DPR sampai dengan pelantikan Presiden (1 Oktober – 20 Oktober 2009), atau pasca pelantikan Presiden sampai dengan deadline pembentukan UU Pengadilan Tipikor (20 Oktober – 19 Desember 2009).
Opsi pertama, sebagaimana dijelaskan di atas sangat beresiko dilakukan. Namun opsi selebihnya relatif aman mengingat komposisi partai politik pendukung pemerintah di parlemen lebih solid pasca kemenangan partai demokrat dalam Pemilu Legislatif 2009. Dengan catatan, SBY kembali memimpin 5 tahun ke depan. Tidaklah berlebihan jika merujuk hasil penetapan pemenang Pilpres oleh KPU, kecuali putusan sengketa hasil Pilpres di MK membatalkan penetapan KPU itu.
Jika opsi kedua dan ketiga dilakukan, yang relatif berbeda hanya persoalan timing penerbitan saja, oleh Presiden 2004-2009 atau 2009-2014.
Bagaimana dengan ihwal kegentingan memaksa? Pengertian ‘hal ihwal kegentingan memaksa’ tak selalu berhubungan dengan keadaan bahaya, namun cukup bila menurut keyakinan Presiden terdapat keadaan mendesak yang membutuhkan pengaturan sederajat dengan UU. Sesungguhnya tak ada parameter penentuan kondisi ‘kegentingan memaksa’. Penjelasan pasal 22 UUD 1945 pra amademen misalnya hanya mengatakan Perppu sebagai noodverordeningsrechts Presiden (hak Presiden untuk mengatur dalam kegentingan memaksa).
Referensi paling mutakhir diintrodusir MK melalui putusan Nomor 003/PUU-III/2005 dalam judicial review Perppu No 1/2004 terkait penambangan di kawasan hutan lindung, yang ditandatangani Presiden Megawati menjelang akhir jabatannya. Saat itu MK menyatakan parameter ‘hal ihwal kegentingan memaksa’ merupakan penilaian subyektif Presiden, sedangkan obyektivitasnya dinilai DPR. Presiden SBY sah-sah saja jika lebih dini (akhir periode 2004-2009) menafsirkan unsur kegentingan memaksa telah terpenuhi. Yang pasti, semakin Pengadilan Tipikor mendekati sakratul maut 19 Desember, unsur kegentingan memaksa semakin mencekat.
Persiapan
Kesiapan Presiden untuk menerbitkan Perppu, wajib dibarengi dengan penyiapan draf Perppu sebagai antisipasi deadlock di DPR. Perpres 68/2005 tentang Tata Cara Mempersiapkan Rancangan UU, Perppu, PP, dan Perpres menyatakan Presiden dalam hal ihwal kegentingan memaksa memerintahkan penyusunan Perppu kepada Menteri yang tugas dan tanggung jawabnya meliputi materi yang akan diatur Perppu, dalam hal ini Menteri Hukum dan HAM.
Materi Perppu sebaiknya bukan menggunakan draf awal RUU Pengadilan Tipikor versi Pemerintah saja, namun juga mengadopsi hasil pembahasan terakhir RUU dengan DPR serta masukan unsur masyarakat. Semata-mata agar hasilnya dapat maksimal dan materi Perppu bukan hanya cerminan pendapat penuh pemerintah (government centris). Mengingat DPR tidak berwenang turut serta menyusun Perppu yang menjadi hak prerogatif Presiden.
Pasca penerbitan Perppu, dalam persidangan DPR yang berikutnya, Perppu akan dibahas. UU 10/2004 dan Keputusan DPR Nomor 08/DPR RI/I/2005-2006 tentang Peraturan Tata Tertib DPR RI mengatur tata cara pembahasan Perppu sama dengan pembahasan UU. Untuk hasil akhirnya, DPR hanya memiliki opsi menolak atau menerima Perppu agar disahkan manjadi UU. DPR tidak memiliki wewenang untuk menerima atau menolak sebagian. Jika diterima, Pengadilan Tipikor selamat. Jika ditolak, Pengadilan Tipikor kiamat. Semoga tidak. (*)
Zamrony, S.H.,M.Kn.
Email: gv_rooney@yahoo.com
Blog : zamrony.wordpress.com
2. Hak Jaksa Mengajukan Peninjauan Kembali (PK) dan Batasannya
Oleh: Paustinus Siburian, SH., MH.
[Penulis adalah Advokat dan Konsultan Hak Kekayaan Intelektual]
ABSTRAK
Barang siapa yang, setelah membaca KUHAP, berkesimpulan bahwa jaksa tidak dapat mengajukan Peninjauan Kembali (PK) atau bahwa hanya terpidana atau ahli warisnya yang dapat mengajukan PK, maka orang itu pasti telah salah membaca undang-undang. Pembacaan yang teliti terhadap Pasal 263 KUHAP menunjukkan bahwa jaksa diberikan hak untuk mengajukan PK. Namun KUHAP juga memberikan batasan dalam hal apa jaksa dapat mengajukan PK, yaitu dalam hal ada putusan yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap yang didalam pertimbangannya menyatakan perbuatan yang didakwakan terbukti tetapi tidak diikuti pemidanaan. Jadi tidak terhadap semua putusan pengadilan yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap jaksa berhak mengajukan PK.
Dalam tulisan ini disarankan agar dilakukan koreksi secepatnya atas praktek hukum dan dicarikan upaya mengatasi kerugian yang dialami oleh pihak-pihak yang dalam putusan pengadilan yang sudah mempunyai kekuatan hukum dinyatakan tidak bersalah tetapi kemudian dipidana karena adanya PK oleh jaksa. Disarankan juga agar Presiden, selaku Kepala Negara, meminta maaf kepada para korban PK jaksa dan seluruh rakyat Indonesia atas kesalahan yang dilakukan oleh Mahkamah Agung dan jaksa-jaksa penuntut umum dalam perkara-perkara PK yang diajukan oleh jaksa.
1. Pendahuluan
Pertanyaan yang terus menerus diajukan sejak tahun 1996 adalah apakah jaksa dapat mengajukan Peninjauan Kembali (PK) dalam perkara pidana terhadap suatu putusan pengadilan yang sudah mempunyai hukum yang tetap. Pertanyaan ini muncul karena pada tahun 1996, untuk pertama kalinya, jaksa mengajukan permohonan PK dalam perkara dengan terdakwa, Mochtar Pakpahan, seorang aktivis buruh pada masa itu. Sejak itu Jaksa secara terus menerus mengajukan PK. Tidak dalam semua kasus yang diajukan jaksa memenangkan PK. Mahkamah Agung (MA) bersikap mendua mengenai hal ini. Ada majelis MA yang menyatakan jaksa tidak berhak mengajukan PK, ada yang menyatakan jaksa dapat mengajukan PK.
Dalam putusan PK dimana MA menerima permintaan PK dari jaksa, MA menyatakan menciptakan hukum karena KUHAP tidak mengaturnya. Dalam Negara v Muchtar Pakpahan, sebagaimana dikutip dalam Negara v Pollycarpus (PUTUSAN No. 109 PK/Pid/2007) , MA misalnya menyatakan: “Dalam menghadapi problema yuridis hukum acara pidana ini dimana tidak diatur secara tegas pada KUHAP maka Mahkamah Agung melalui putusan dalam perkara ini berkeinginan menciptakan hukum acara pidana sendiri, guna menampung kekurangan pengaturan mengenai hak atau wewenang Jaksa Penuntut Umum untuk mengajukan permohonan pemeriksaan Peninjauan Kembali (PK) dalam perkara pidana.”
Dalam hal MA tidak dapat menerima permohonan jaksa, MA menyatakan bahwa MA tidak berwenang memutuskan mengenai PK. Dalam Negara v H. MULYAR bin SAMSI (Putusan MA No84PK/Pid/2006 Tahun 2006), MA menyatakan bahwa PK Jaksa tidak dapat diterima dengan alasan:
Bahwa Pasal 263 ayat (1) KUHAP telah menentukan bahwa terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, Terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan permintaan peninjauankembali kepada Mahkamah Agung;
Bahwa ketentuan tersebut telah mengatur secara tegas dan limitative bahwa yang dapat mengajukan peninjauankembali adalah Terpidana atau ahli warisnya. Hal ini berarti bahwa yang bukan Terpidana atau ahli warisnya tidak dapat mengajukan peninjauankembali.
Dengan adanya ketentuan yang tegas dan limitatif tersebut, tidak diperlukan lagi ketentuan khusus, yang mengatur bahwa yang bukan Terpidana atau ahli warisnya tidak dapat mengajukan peninjauankembali;
Bahwa “due proses of law” tersebut berfungsi sebagai pembatasan kekuasaan Negara dalam bertindak terhadap warga masyarakat, dan bersifat normatif, sehingga tidak dapat ditafsirkan dan tidak dapat disimpangi, karena akan melanggar keadilan dan kepastian hukum ;
Menimbang, berdasarkan hal-hal tersebut disimpulkan bahwa Jaksa Penuntut Umum tidak dapat mengajukan permohonan peninjauankembali atas putusan pidana yang telah berkekuatan hukum tetap. Oleh karenanya apa yang dimohonkan oleh Jaksa Penuntut Umum merupakan kesalahan dalam penerapan hukum acara, sehingga permohonan peninjauan kembali yang dimajukan oleh Jaksa Penuntut Umum haruslah dinyatakan tidak dapat diterima;
Pertimbangan-pertimbangan hukum yang dikemukakan oleh dua majelis pada MA tentu membingungkan, yang mana yang harus diikuti. Hal ini tentu akan menyebabkan adanya ketidakpastian hukum. MA, sebagaimana pertimbangan-pertimbangan hukum yang diajukan di atas menunjukkan, ternyata tidak satu. Putusan Majelis yang satu belum tentu diikuti oleh Majelis yang lain.
Tulisan ini akan membahas mengenai dasar hukum dari jaksa dalam mengajukan PK dan setelah menemukan dasar hukumnya maka akan dibahas mengenai batasan-batasan dalam mengajukan PK sebagaimana diatur dalam KUHAP. Dalam membahas mengenai PK oleh jaksa ini, saya hanya menggunakan bahan hukum primer, yaitu undang-undang dan Putusan-putusan MA. Putusan MA yang saya gunakan dalam tulisan ini dapat diakses pada situs web dari Mahkamah Agung. Alasan tidak menggunakan bahan sekunder adalah karena dalam pertimbangan hukumnya MA membuat rujukan pada bahan hukum sekunder.

2. Tinjauan Atas Pasal 263 KUHAP
Pasal 263 ayat (1) KUHAP menyatakan bahwa “terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan permintaan peninjauan. kembali kepada Mahkamah Agung.” Ketentuan ini memberikan hak kepada terpidana atau ahli warisnya untuk mengajukan peninjauan kembali atas putusan pengadilan yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap. Dengan digunakannya kata terpidana atau ahli warisnya menandakan bahwa dalam putusan pengadilan yang sudah mempunyai kekuatan tetap yang dimintakan peninjuan kembali, seseorang sudah dinyatakan bersalah dan dijatuhi hukuman pidana atau ada pemidanaan.
Dikecualikan dari hal-hal yang tidak dapat diajukan peninjauan kembali adalah putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum. Perumusan dalam Pasal 263 ayat (1) ini memang agak sedikit kacau. Yang dapat mengajukan permintaan peninjauan kembali adalah terpidana atau ahli warisnya. Sementara untuk putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum tidak ada terpidana. Maka adanya klausul “kecuali putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum” sangatlah tidak masuk akal ditempatkan dalam ayat tersebut.
Kalau kemudian jaksa mengajukan peninjauan kembali, menjadi layak karena adanya klausul “kecuali putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum”. Jaksa dapat berpikir bahwa yang diatur dalam Pasal 263 ayat (1) adalah Peninjuan kembali oleh terpidana atau ahli warisnya. Sementara untuk putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum dapat diajukan peninjauan kembali tetapi tidak diatur dalam Pasal 263 ayat (1) KUHAP tersebut. Dimana diaturnya, jaksapun tidak tahu dan hal ini berarti ada kekosongan hukum. MA, dari perspektif jaksa, berpikir bahwa MA dapat mengisi kekosongan tersebut melalui ketentuan bahwa hakim harus menggali nilai-nilai dalam masyarakat dan MA memang melakukannya dalam Negara v Muchtar Pakpahan dan lain-lain.
Bahwa jaksa dapat mengajukan peninjauan kembali mendapat landasannya dalam Pasal 263 ayat (3). Pasal 263 ayat (3) tersebut menyatakan “Atas dasar alasan yang sama sebagaimana tersebut pada ayat (2) terhadap suatu putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dapat diajukan permintaan peninjauan kembali apabila dalam putusan itu suatu perbuatan yang didakwakan telah dinyatakan terbukti akan tetapi tidak diikuti oleh suatu pemidanaan.” Ayat (3) ini merupakan landasan hukum bagi jaksa dalam mengajukan PK atas putusan pengadilan yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap. Persyaratan dalam Pasal 263 ayat (3) “……………. apabila dalam putusan itu suatu perbuatan yang didakwakan telah dinyatakan terbukti akan tetapi tidak diikuti dengan pemindanaan” menunjukkan bahwa ketentuan Pasal 263 ayat (3) tidak ditujukan bagi Terpidana karena dalam konteks Pasal 263 ayat (3) memang tidak ada yang disebut “Terpidana”. Tidak ada “terpidana” tanpa adanya “pemidanaan”.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Pasal 263 ayat (1) ditujukan untuk PK bagi Terpidana atau ahli warisnya. Yang diajukan PK menurut Pasal 263 ayat (1) adalah terhadap putusan yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap yang isinya “pemidanaan”. Pasal 263 ayat (3) adalah PK yang diajukan terhadap putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap yang tidak berisi pemidanaan. Karena tidak ada pemidanaan maka tidak ada terpidana dan oleh karenanya tidak ditujukan bagi Terpidana atau ahli warisnya yang memang tidak ada.
MA dalam putusan PK dalam Negara v Pollycarpus telah keliru ketika menyatakan:
2. Bahwa Pasal 263 KUHAP yang merupakan pelaksanaan dari Pasal 21 Undang-Undang No.14 Tahun 1970 mengandung hal yang tidak jelas, yaitu:
a. Pasal 263 ayat 1 KUHAP tidak secara tegas melarang Jaksa Penuntut Umum mengajukan upaya hukum Peninjauan Kembali, sebab logikanya terpidana /ahliwarisnya tidak akan mengajukan Peninjauan Kembali atas putusan vrijspraak dan onslag van alle vervolging. Dalam konteks ini, maka yang berkepentingan adalah Jaksa Penuntut Umum atas dasar alasan dalam ketentuan pasal 263 ayat 2 KUHAP ;
b. Bahwa konsekwensi logis dari aspek demikian maka pasal 263 ayat 3 KUHAP yang pokoknya menentukan “ Atas dasar alasan yang sama sebagaimana tersebut pada ayat (2) terhadap suatu putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dapat diajukan permintaan peninjauan kembali apabila dalam putusan itu suatu perbuatan yang didakwakan telah dinyatakan terbukti akan tetapi tidak diikuti oleh suatu pemidanaan” tidak mungkin dimanfaatkan oleh terpidana atau ahli warisnya sebab akan merugikan yang bersangkutan, sehingga logis bila kepada Jaksa Penuntut Umum diberikan hak untuk mengajukan peninjauan kembali;
Menyangkut butir 2.a dari pertimbangan MA tersebut, MA jelas keliru karena ketentuan Pasal 263 ayat (1) itu adalah untuk Terpidana atau Ahli warisnya. Logika MA juga keliru ketika menyatakan “…….sebab logikanya terpidana /ahliwarisnya tidak akan mengajukan Peninjauan Kembali atas putusan vrijspraak dan onslag van alle vervolging”, karena memang tidak ada terpidana dalam putusan vrijspraak dan onslag van alle vervolging. Sedangkan butir 2.b dari pertimbangan tersebut kekeliruan MA dalam menafsirkannya lebih parah. MA menyatakan “…………..tidak mungkin dimanfaatkan oleh terpidana atau ahli warisnya sebab akan merugikan yang bersangkutan,…..”. Sebagaimana saya sebutkan di atas, dalam konteks Pasal 263 ayat (3) tidak ada “terpidana”, karena kondisinya adalah “…tidak diikuti oleh suatu pemidanaan”.
Sebenarnya dalam putusan dalam Negara v Muchtar Pakpahan, sebagaimana dirujuk oleh MA dalam Negara v Pollycarpus, MA sudah nyaris benar ketika menyatakan:
3. Pasal 263 ayat (3) KUHAP menurut penafsiran Majelis Mahkamah Agung RI maka ditujukan kepada Jaksa oleh karena Jaksa Penuntut Umum adalah pihak yang paling berkepentingan agar keputusan hakim dirubah, sehingga putusan yang berisi pernyataan kesalahan terdakwa tapi tidak diikuti pemindanaan dapat dirubah dengan diikuti pemindanaan terhadap terdakwa;
Namun MA melihat Pasal 263 ayat (3) KUHAP itu ditujukan kepada jaksa oleh karena JPU adalah “pihak yang berkepentingan”. Persoalannya dalam Pasal 263 ayat (3) bukan soal siapa yang “paling berkepentingan” tetapi Pasal 263 ayat (3) itu pada dirinya memang ditujukan untuk jaksa. Dalam perkara pidana hanya ada dua pihak yang berhadap-hadapan di depan hakim, Jaksa Penuntut Umum dan Terdakwa. Terdakwa yang dinyatakan bersalah dan ada pemidanaan adalah Terpidana. Dengan dinyatakan “paling berkepentingan” seolah-olah ada pihak lain yang berkepentingan dengan kondisi yang disebutkan dalam Pasal 263 ayat (3) tersebut.
Lagipula, secara logis, jika KUHAP hanya mengatur PK oleh Terpidana atau ahli warisnya, untuk apa lagi dibuat ketentuan Pasal 263 ayat (3). Pasal 263 ayat (1) sudah cukup untuk menampung keperluan terpidana atau ahli warisnya.
Dengan demikian adalah merupakan kesalahan membaca undang-undang jika ada yang menyatakan bahwa KUHAP tidak mengatur mengenai hak atau wewenang dari jaksa untuk mengajukan PK. Sebagaimana sudah saya tuliskan di atas, KUHAP memang memberikan Hak bagi jaksa untuk mengajukan PK, sekalipun tidak secara nyata disebutkan kata “jaksa penuntut umum”.

3. Putusan Bebas dan Putusan Lepas dari Segala Tuntutan Hukum
Dalam Pasal 263 ayat (1) kedua istilah hukum tersebut muncul dalam rumusan “…..,, kecuali putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum,…..”. Dalam Pasal 263 ayat (3) kedua istilah hukum itu tidak muncul. Kata-kata yang muncul adalah “……………………apabila dalam putusan itu suatu perbuatan yang didakwakan telah dinyatakan terbukti akan tetapi tidak diikuti oleh suatu pemidanaan”. Apakah Putusan bebas dan putusan lepas dari segala tuntutan hukum termasuk dalam apa yang disebut dalam Pasal 263 ayat (3) “…..tidak diikuti oleh suatu pemidanaan”?
Dalam kedua macam putusan, yaitu putusan bebas dan putusan lepas dari segala tuntutan hukum tidak ada pemidanaan. Dengan demikian jika dalam putusan bebas hakim menyatakan suatu perbuatan yang didakwakan terbukti maka putusan semacam itu dapat diajukan PK. Demikian juga halnya dalam putusan lepas dari segala tuntutan hukum, dimana perbuatan yang didakwakan dinyatakan terbukti tetapi ada alasan-alasan tertentu yang membuat hakim tidak menjatuhkan pidana, maka jaksa dapat mengajukan PK.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa menurut KUHAP tidak hanya terpidana atau ahli warisnya yang dapat mengajukan peninjauan kembali tetapi juga jaksa. Tentu alasan untuk mengajukan peninjauan kembali adalah berbeda antara apa yang diajukan oleh terpidana atau ahli warisnya dengan yang diajukan oleh jaksa.
4. Alasan untuk mengajukan peninjauan kembali
Pasal 263 ayat (2) memuat daftar dasar yang dapat diajukan untuk melakukan peninjauan kembali oleh terpidana atau ahli warisnya.
a. apabila terdapat keadaan baru yang menimbulkan dugaan kuat, bahwa jika keadaan itu sudah diketahui pada waktu sidang masih berlangsung, hasilnya akan berupa putusan bebas atau putusan lepas dari segala tuntutan hukum atau tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima atau terhadap perkara itu diterapkan ketentuan pidana yang lebih ringan;
b. apabila dalam pelbagai putusan terdapat pernyataan bahwa sesuatu telah terbukti, akan tetapi hal atau keadaan sebagai dasar dan alasan putusan yang dinyatakan telah terbukti itu, ternyata telah bertentangan satu dengan yang lain;
c. apabila putusan itu dengan jelas memperlihatkan suatu kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata.

Bagi jaksa terdapat alasan untuk mengajukan permintaan peninjauan kembali yaitu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 263 ayat (3) sebagaimana telah disinggung di atas, yaitu apabila putusan hakim yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap itu menyatakan bahwa suatu perbuatan yang sudah didakwakan terbukti tetapi tidak diikuti dengan pemidanaan. Hal ini tentu karena mungkin ada kekhilafan hakim, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 263 ayat (2) butir c.
Kata-kata yang digunakan pada awal Pasal 263 ayat (3) seolah-olah menunjukkan bahwa semua alasan yang disebutkan dalam Pasal 263 ayat (2) akan berlaku bagi PK oleh Jaksa. Namun demikian, alasan-alasan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 263 ayat (2) butir a dan b tidak berlaku bagi jaksa. Hanya butir c dari Pasal 263 ayat (2) yang berlaku bagi jaksa untuk mengajukan PK sesuai Pasal 263 ayat (3).
Dalam Negara v Pollycarpus misalnya, jaksa mengajukan novum. Jaksa membolakbalik ketentuan dalam Pasal 263 ayat (2) butir a. Malangnya, MA dalam PK malah menerima novum yang diajukan oleh jaksa tersebut. Dalam Negara v Pollycarpus, Majelis PK MA menyatakan:
“Sesuai dengan ketentuan Pasal 263 ayat (2) huruf a KUHAP, salah satu alasan diajukannya peninjauan kembali adalah apabila terdapat keadaan baru yang menimbulkan dugaan kuat, bahwa jika keadaan itu sudah diketahui pada waktu sidang masih berlangsung, maka hasilnya akan menjadi putusan menjadi berbeda”
Pasal 263 ayat (2) butir a yang mengatur mengenai dasar mengajukan PK adalah untuk Terpidana dan bukan untuk Jaksa. MA mengubah Pasal 263 ayat (2) butir a KUHAP ketika menyatakan “….., maka hasilnya akan menjadi putusan menjadi berbeda”. Ini merupakan penyimpangan yang nyata yang dilakukan oleh MA.
Ini tentu aneh mengingat ketentuan dalam Pasal 263 ayat (3) secara jelas membatasi hanya terhadap putusan yang mempunyai kekuatan hukum tetap yang didalamnya dinyatakan perbuatan yang didakwakan terbukti tetapi tidak diikuti pemidanaan.
Jika dibaca sesuai Pasal 263 ayat (3) maka jaksa dapat mengajukan PK terhadap putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap yang tidak berupa pemidanaan karena dalam putusan dinyatakan bahwa perbuatan yang didakwakan sudah terbukti tetapi tidak diikuti dengan pemidanaan yang dengan jelas memperlihatkan suatu kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata dari hakim. Jadi jaksa tidak dapat mengajukan PK kalau dalam putusan bebas hakim menyatakan bahwa perbuatan yang didakwakan tidak terbukti.
5. Pembatasan
Sesuai dengan uraian-uraian di atas maka hak jaksa untuk mengajukan PK sangat terbatas, yaitu hanya terhadap putusan yang dalam pertimbangannya hakim menyatakan perbuatan yang didakwakan terbukti tetapi tidak diikuti oleh suatu pemidanaan. Jaksa tidak dapat mengajukan PK kalau:
1. Putusan-putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap itu ternyata ada pemidanaan.
2. dalam putusan bebas hakim menyatakan bahwa perbuatan yang didakwakan tidak terbukti;

Pengajuan PK oleh Jaksa selama ini tentulah melanggar KUHAP. Maka putusan PK MA dalam Negara v Muchtar Pakpahan, dan Negara v Pollycarpus dan lain-lain merupakan kecelakaan atau bahkan dosa-dosa hukum MA terhadap korban-korban PK jaksa dalam kasaus-kasus tersebut.
6. Penutup
Sesuai dengan uraian-uraian yang disebutkan di atas maka sebagai kesimpulan penutup adalah bahwa menurut KUHAP, jaksa berhak atau dapat mengajukan PK tetapi hanya terbatas pada putusan-putusan yang telah berkekuatan hukum tetap yang dalam pertimbangan hukumnya dinyatakan perbuatan yang didakwakan terbukti tetapi tidak diikuti dengan suatu pemidanaan.
Oleh karena itu perlu dilakukan koreksi terhadap praktek hukum yang ada dan melakukan perbaikan-perbaikan dimana perlu di kalangan hakim, jaksa, dan advokat untuk mengatasi kekeliruan-kekeliruan yang dilakukan dalam proses hukum semenjak munculnya kasus PK oleh jaksa.
MA, Jaksa Agung, dan PERADI, sebagai organisasi yang didirikan dan berfungsi mengemban amanat UU Advokat, harus bersama-sama mencari sarana hukum yang mungkin untuk membebaskan mereka yang kemudian dipidana setelah sebelumnya menurut putusan pengadilan yang sudah mempunyai kekuatan hukum yang tetap tidak dipidana. Disarankan juga agar Presiden, selaku Kepala Negara, meminta maaf kepada para korban PK jaksa dan seluruh rakyat Indonesia atas kesalahan yang dilakukan oleh Mahkamah Agung dan jaksa-jaksa penuntut umum dalam perkara-perkara PK yang diajukan oleh jaksa.

Law Offices of Paustinus Siburian
Kantor Bintaro JL. Cucur Timur III Blok A3 No 20 Bintaro Jaya Sektor 4 Tangerang 15225
Phone : 62 21 7363383, 62 21 70845062
Fax : 62 21 7363383
info@ipaust.co.id
Website: http://www.ipaust.co.id
3. Mereka (Anak) Memang Seharusnya Tak Dipenjara
Oleh: Lucky Raspati, SH.MH
[Penulis adalah Staf Pengajar Bagian Hukum Pidana FH Universitas Andalas Padang]
Dengan muka ditutupi topeng, 10 orang anak, terdakwa pelaku tindak pidana perjudian menjalani persidangan di Pengadilan Negeri Tangerang, sebelumnya mereka di tahan di Lembaga Pemasyarakatan Anak Pria Tangerang selama hampir sebulan (kompas, Rabu, 15 Juli 2009). Kesepuluh anak ini kemungkinan besar akan menambah menambah daftar panjang anak yang dipenjarakan karena melakukan pelanggaran terhadap delik-delik yang diatur dalam kitab undang-undang hukum pidana (KUHP) Indonesia. Sekedar ilustrasi, di tahun 2003, menurut hasil sebuah penelitian, lebih dari 4.000 anak Indonesia diajukan ke pengadilan setiap tahunnya atas kejahatan ringan seperti pencurian dan perkelahian. Sembilan dari sepuluh anak ini akhirnya dijebloskan ke penjara atau rumah tahanan. (Steven Allen:2003).
Anak Nakal
Persoalan anak sebagai pelaku tindak pidana merupakan suatu permasahan yang polemistis sifatnya. Dikatakan demikian karena anak sebagai pelaku tindak pidana sesungguhnya juga merupakan korban dari tindak pidana itu sendiri. Pemikiran ini berangkat dari asumsi dan pemahaman bahwa pada diri seorang anak terdapat kecenderungan jiwa yang labil. Kecenderungan ini dalam aplikasinya seringkali diwujudkan kedalam perilaku kritis, agresif atau bahkan menunjukkan sikap yang anti sosial, dimana hal tersebut sangat dipengaruhi oleh berbagai macam faktor, khususnya keluarga dan lingkungan sekitarnya.
Dengan karakteristik unik tersebut maka di negara-negara yang telah mapan sistem hukumnya, persoalan pidana dan pemidanaan terhadap anak mendapatkan perhatian yang sangat serius dari negara. Di Amerika Serikat misalnya, terhadap pelanggaran norma hukum pidana, kesusilaan, dan ketertiban umum apabila dilakukan oleh orang yang berusia usianya di bawah 21 tahun disebut dengan kenakalan (deliquency). Baru apabila pelanggaran tersebut dilakukan oleh orang berusia 21 tahun keatas perbuatannya dinamakan kejahatan (crime).Dari hal ini nampak jelas, bahwa dalam tahapan penegakan hukum di tingkat penyelidikan dan penyidikan, dan penuntutan sudah diusahakan untuk menghindari pemberian stigma tersangka atau terdakwa bagi anak nakal.
Disamping itu, kalaupun hukum pidana tidak dapat lagi dielakkan maka terhadap anak nakal haruslah dipenuhi segala kebutuhan hak-hak anak, seperti pendampingan pengacara, psikolog dan lain-lain yang sifatnya memberikan perlindungan kepada anak nakal dari “ganasnya” penerapan sanksi pidana.
Pengklasifikasian kejahatan dan kenakalan dalam konteks hukum pidana pada dasarnya merupakan titik pijak terhadap dua masalah penting dalam hukum pidana, yaitu; perbuatan apa yang seharusnya dijadikan tindak pidana, dan sanksi apa yang sebaiknya digunakan atau dikenakan kepada si pelanggar.
Pidana Sebagai Pengancam!
Dalam buku the limits of criminal sanction (1968) Herbert L. Packer mengemukakan bahwa sanksi pidana sangatlah diperlukan; kita tidak dapat hidup sekarang maupun di masa yang akan datang tanpa pidana, karena sanksi pidana merupakan alat atau sarana terbaik yang tersedia, yang kita miliki untuk menghadapi kejahatan-kejahatan atau bahaya besar dan segera serta untuk menghadapi ancaman-ancaman dari bahaya. Tetapi meskipun demikian sanksi pidana bisa menjadi “pengancam yang utama” apabila digunakan secara sembarangan dan secara paksa.

Frasa sembarangan dan secara paksa yang dikatakan oleh Packer dalam hukum pidana ditujukan kepada dua hal, yaitu tentang norma hukum apa yang dilanggar (hukum pidana materiel) dan bagaimana cara menegakkan hukum terhadap tindakan tersebut (hukum pidana formil).
Terkait dengan kriminalisasi anak, secara normatif mengacu kepada UU yang terkait dengan Anak. Dalam Pasal 1 butir 2 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, yang mengatakan bahwa anak nakal adalah : pertama, anak yang melakukan tindak pidana, atau kedua, anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang bagi anak, baik menurut peraturan perundang-undangan maupun menurut hukum lain yang hidup dan berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan.
Sementara proses penanganan anak nakal dan penegakan hukumnya diatur dalam UU No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Sebagai bagian hukum formil, tentang bagaimana cara menerapkan hukum materiel, penanganan dan penegakan hukum terhadap anak nakal terikat dengan ketentuan pasal 16 (ayat 3), UU No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, yang menyatakan secara tegas bahwa dalam hal penangkapan, penahanan, atau tindak pidana, penjara anak hanya dilakukan apabila sesuai dengan hukum yang berlaku dan hanya dapat dilakukan sebagai upaya terakhir (ultimum remedium).
Sayangnya, seringkali norma hukum formil yang seharusnya menjadi acuan tentang bagaimana dan dengan cara apa penanganan dan penegakan hukum terhadap anak harus dilakukan seringkali diabaikan sedemikian rupa oleh aparat penegak hukum (Polisi, Jaksa dan Hakim) sehingga terkesan sanksi pidana menjadi hal yang utama (primum remedium). Kasus penahanan dan pesidangan raju dan juga kesepuluh anak di tanggerang merupakan contoh konkrit bagaimana hukum pidana diwujudkan sebagai pengancam yang utama.
Dari kejadian-kejadian tersebut nampak secara jelas bahwa aparat penegak hukum kurang memperhatikan arti penting substansi UU Perlindungan Anak, yakni mencegah perlakuan buruk terhadap anak. Padahal penting untuk digarisbawahi bahwa penegakan hukum terhadap anak nakal terikat dengan UU No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak sebagai ketentuan hukum khusus (lex specialis).
Kedepan, seharusnya aparat penegak hukum lebih bijak dalam memahami dan memaknai kasus-kasus anak nakal, tidak semua tindak pidana menurut ketentuan perundang-undangan (khususnya KUHP) bisa serta merta diterapkan kepada seorang anak, meskipun secara rumusan delik, unsur perbuatannya terpenuhi. Harus dipilah dan dipilih, dalam hal apakah ketentuan hukum pidana bisa diterapkan dalam kapasitasnya sebagai primum remedium atau ultimum remedium.
Home
4. “Biaya Administrasi” Atau Pungutan Liar
Oleh: Rony Saputra, S.H.
[Penulis adalah seorang Advokat dan Staff LBH Padang Divisi HAM]
Dua hal yang sebenarnya sangat berbeda, tetapi beberapa dekade ini menjadi kosa kata yang hampir sama, bagaimana tidak setiap berurusan dikantor-kantor pemerintah masyarakat selalu diminta biaya administrasi yang tidak jelas. Jika ditanya biaya untuk apa, jawabnya sederhana, buat beli kertas, biaya ketikan, biaya transportasi dan yang paling banyak adalah biaya stempel.
Seperti yang kita ketahui, bahwa biaya administrasi adalah biaya yang dikenakan terhadap masyarakat dengan jumlah dan jenis yang telah ditetapkan oleh Pemerintah/pemerintah daerah/Penjabat yang berwenang dalam suatu aturan/keputusan. Jika tidak ada penetapan dari penjabat yang berwenang maka setiap biaya yang dikenakan jatuh pada ranah pungutan liar (PUNGLI) atau jika dilakukan oleh pegawai negara atas uang negara maka dapat diketegorikan Korupsi yang diatur dalam UU No. 31 tahun 1999 yang dirubah dengan UU No 20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi.
Fenomena diatas, hampir terjadi disetiap daerah di Indonesia, termasuk di Ranah yang berfalsafahkan ‘adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah’ ini. Apalagi akhir-akhir ini setelah pemerintah menaikkan harga BBM dan membagi-bagikan uang kompensasi berupa BLT kepada masyarakat miskin. Tidak jarang penjabat RT, RW, Lurah dan bahkan Walinagari melakukan pungutan liar berkedok ‘biaya administrasi sukarela’. Jelas apapun namanya ketika tidak ada aturan hukum maka apa yang dilakukan oleh para penjabat itu adalah Pungli alias Korupsi. Jika perbuatan itu dibiarkan saja, maka jangan berharap kalau ‘virus korupsi’ akat tetap menjamah di negeri ini.
Rendahnya pemahaman masyarakat akan korupsi ini juga menjadi lahan subur untuktumbuh dan berkembangnya virus korupsi itu sendiri, bahkan tidak jarang masyarakat sendiri dibenturkan oleh pihak-pihak tertentu agar korupsi menjadi sesuatu yang halal dan legal, bagaimana tidak dalam beberapa praktek didunia kepemerintahan sangat jarang aparat yang melakukan penilepan (Sulap) uang negara yang dijerat dengan pidana. Padahal jelas rumusan tindak pidana korupsi ditegaskan dalam UU No. 31 tahun 1999 yang dirubah dengan UU No. 20 tahun 2001 apabila berbuatan itu (1) merugikan keuangan negara, (2) adanya suap menyuap, (3) adanya penggelapan dalam jabatan, (4) adanya pemerasan, (5) adanya perbuatan curang, (6) adanya benturan kepentingan dalam pengadaan, dan/atau (7) Gratifikasi adalah tindak pidana korupsi.
Tindak pidana korupsipun tidak pernah memandang jabatan, ras, agama, kepentingan, golongan atau suku, ketika setiap orang tersebut diduga melakukan setidaknya salah satu dari 7 (tujuh) jenis diatas, maka dapat diduga mereka telah melakukan Korupsi dan harus di tindak sesuai dengan hukum yang berlaku.
Berdasarkan hal diatas, maka fenomena yang terjadi selama ini terutama persoalan ‘biaya administrasi sukarela’ terkait dengan penyaluran dana BLT untuk orang miskin juga harus ditindak oleh aparat hukum, apalagi ketika SBY menelorkan program bantuan dadakan ini, Kejaksaan Agung berjanji akan mengawal proses dan melakukan tindakan terhadap penyelewengan bantuan. Sehingga tidak ada alasan bagi penyalur (baik Ketua RT, Ketua RW, Lurah, Camat, Walinagari) untuk memungut ataupun menerima pemberian guna memperlancar penyaluran BLT.
Selain biaya administrasi sukarela yang dilancarkan dalam penyaluran BLT, sebenarnya masih banyak pungutan liar lain yang berkedok biaya administrasi. Misal dalam pengurusan KTP, Nikah, Akte Kelahiran, dan surat keterangan lain di kantor pemerintah, padahal jelas bahwa biaya administrasi telah ditetapkan oleh pemerintah, tetapi ketika masyarakat mengurus, ternyata banyak muncul biaya tetek-bengek yang ketika diminta bukti pembayaran sipetugas mengelak dengan alasan “Sudah biasa”. Tidak sampai disitu, dalam urusan parkir memarkirpun pungutan liar juga terjadi, dikarcis yang telah disediakan tertera biaya parkir Rp.500,- tetapi ketika diberikan Rp. 500,- petugas parkir meminta Rp.500,- dengan alasan setiap orang membayar Rp. 1000,- Memang jumbah biaya pungli itu tidak banyak, jika tetap dibiarkan dan tidak ditindak maka benih-benih korupsi akan tetap ada.
Kejadian yang sangat memalukan kita adalah dipengadilan sendiripun praktek-praktek ‘biaya administrasi’ pun juga terjadi dengan terang-terangan. Misal dalam pengurusan perkara pidana yang jelas-jelas bebas dari segala pungutan, tetap juga dibiarkan. Bahkan ketika dilaporkan kepada atasan yang bersangkutan, jawaban klise yang muncul “sudahlah hitung-hitung membantu biaya pengetikan, tranportasi dan lain-lain”, singkat kata virus korupsi ternyata memang sudah menjadi penyakit kronik yang sudah tidak ada obatnya, bahkan walaupun telah dilakukan ESQ oleh Ginanjar, tetap saja tidak pernah terkikis, dan muncul lagi.
Lebih ironisnya, ketika Majelis hakim menjatuhkan vonis bagi “Para Koruptor” tidak jarang yang menyalahi aturan undang-undang ( UU No. 31 tahun 1999 yang dirubah dengan UU No 20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi) jelas bahwa UU tersebut menerapkan sistem pidana minimum dan maksimum, namun majelis hakim malah menjatuhkan pidana dibawah sanksi minimum, semisal, seseorang terbukti bersalah melanggar pasal 2 UU No. 31 tahun 1999 yang dirubah dengan UU No 20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi maka seharusnya dihukum dengan pidana penjara 4 tahun atau lebih, tetapi banyak putusan yang dijatuhkan malah 1 (satu) tahun atau 2 (dua) tahun.
Sehingga jelas bahwa sebenarnya sampai saat ini, baik pemerintah maupun aparat termasuk masyarakat masih belum punya keinginan (setidak-tidaknya baru punya, itupun niat) untuk memberantas tindak pidana korupsi.
Jika memang kita (bangsa ini) mau lepas dari jeratan utang dan mandiri maka mulai dari sekarang kita harus menggalakkan “gerakan perangi korupsi”. Dan menghentikan sifat kasihan dan iba terhadap pelaku (Koruptor) dengan alasan dia adalah mamak, pemuka masyarakat, tokoh politik, dan alasan-alasan lain yang berujung kepada semakin menjamurnya virus korupsi. ***
--
Ronny syahputra
Advokat dan Staf Divisi HAM
LBH Padang
Jl. Pekanbaru No.21
Asratek
Ulak Karang
Padang
5. Pencabut Nyawa Itu Bernama "Negara"
Oleh: Rony Saputra, S.H.
[Penulis adalah seoarang Advokat dan Staff LBH Padang Divisi HAM]
Persoalan pidana mati sepertinya tidak akan pernah habis untuk diperdebatkan karena akan selalu mengundang pro dan kontra dengan berbagai argumen serta keahlian baik berdasarkan kajian filosofis, sosiologis maupun yuridis.
Di Indonesia sendiri pertarungan ahli yang sepakat dengan pidana mati dengan yang tidak sepakat dengan pidana mati juga telah lama terjadi dan kembali menguat pada tahun 2007 ketika terjadi eksekusi mati terhadap napi dengan label ‘Terpidana Mati’ diantaranya Robot Gedek terpidana mati kasus pelecehan seksual terhadap beberapa orang anak laki-laki lalu dibunuh, Ayodha Prasad Chabey warga India yang tertangkap membawa heroin seberat 12,5 Kg dari Bangkok menuju Indonesia dan Tibo Cs yang diduga menjadi pelaku terorisme di Sulawesi Tenggara. Protes masyarakat atas eksekusi mati ini tidak hanya persoalan tidak setuju dengan pidana mati, tetapi waktu yang begitu lama (lebih dari 10 Tahun) baru seseorang itu dieksekusi sehingga menimbulkan penderitaan yang berkepanjangan. Lain halnya dengan kasus Tibo Cs, masyarakat berpendapat bahwa pengadilan telah salah memutus.
Wacana mengenai pidana mati di Indonesia kembali menghangat ketika Pemerintah Indonesia melalui eksekutor negara bernama Jaksa mengeksekusi mati tiga orang terpidana mati yaitu Dukun AS di Medan di eksekusi pada malam hari ketika pengacaranya mengajukan Grasi ke-2,Sumiarsih dan Sugeng dieksekusi ketika ia meminta kepada Negara untuk dipertemukan dengan Gusdur. Dan masih tersisa 40-an lebih calon orang-orang yang akan di cabut nyawanya oleh negera (daftar tunggu) termasuk didalamnya sang Fenomenal Amrozi Cs.
Pidana mati di Indonesia memang masih menjadi suatu pilihan yang wajib dilaksanakan, walaupun didalam pasal 28a UUD 1945 ditegaskan bahwa “Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya” dan dipertegas dengan pasal 28 I UUD 1945 berbunyi “Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun”.
Jelas UUD merupakan ketentuan tertinggi dalam suatu negara hukum di Indonesia dan tidak ada ketentuan lain yang dapat mengenyampingkannya. Tetapi pada kenyataannya Negara melalui pemerintah tetap melakukan ‘pembangkangan’ dengan jalan mendiskreditkan pasal 28 j UUD 1945 yang berbunyi “Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis”.
Pengertian yang dapat diambil dalam pembatasan pasal 28 j UUD sebatas memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis. Arti kata, apakah ketika seseorang melakukan pembuhuhan, pada dirinya juga harus dijatuhkan hukuman mati (dibunuh oleh negara), jika posisinya memang seperti itu, kenapa proses pemidanaan tidak diserahkan saja sesuai mekanisme hukum alam? (Darah bayar Darah).
Sebagai negara Hukum yang menjunjung tinggi harkat dan martabat serta Hak Asasi Manusia, maka sudah sepatutnya, hukuman mati yang merupakan penjelmaan dari sifat balas dendam sudah harus dihapuskan, apalagi Indonesia yang tercatat sebagai anggota tidak tetap dewan PBB yang telah meratifikasi International Convenan Civil and Politic Right (ICCPR), seharusnya Indonesia sudah menghapuskan keberadaan hukuman mati dalam Kitab peraturan perundang-undangan.
Penegasan penghapusan pidana mati ini terdapat dalam protokol Opsional kedua yang ditujukan terhadap penghapusan pidana mati(Ditetapkan oleh resolusi Majelis Umum 44/128 tertanggal 15 Desember 1989), pada pasal 1-nya menyebutkan ayat (1) “Tidak seorangpun dalam wilayah hukum Negara-negara Pihak pada Protokol ini dapat dihukum mati”, ayat (2) “Setiap Negara Pihak wajib mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk menghapuskan hukuman mati di dalam wilayah hukumnya”.
Berkaitan dengan pembatasan terhadap pidana mati disebutkan pada pasal 2 yang berbunyi “Pembatasan tidak diperkenankan pada Protokol ini, kecuali pembatasan yang dilakukan pada saat ratifikasi atau aksesi yang mengatur tentang pemberlakuan hukuman mati pada saat perang, berdasarkan keyakinanbahwa suatu kejahatan militer telah dilakukan pada masa peperangan”.
Dengan diratifikasinya konvenan diatas, maka Indonesia harus telah menuju kepada penghapusan terhadap penggunaan instrumen pidana mati di setiap peraturan perundang-undangan yang ada. Sehingga tidak lagi memunculkan polemik baru dalam penerapan hukum terutama Pidana..
Dalam hukum positif Indonesia masih terdapat banyak peraturan perundang-undangan yang mencantumkan ancaman pidana mati misalnya Pasal104 (makar terhadap presiden dan wakil presiden), Pasal 111 ayat 2 (membujuk negara asing untuk bermusuhan atau berperang, jika permusuhan itu dilakukan atau jadi perang), Pasal 124 ayat 3 (membantu musuh waktu perang), Pasal 140 aY3t 3 (makar terhadap raja atau kepala negara-negara sahabat yang direncanakan dan berakibat maut), Pasal 340 (pembunuhan berencana), Pasal 365 ayat 4 (pencurian dengan kekerasan yang mengakibatkan luka berat atau mati), Pasal 368 ayat 2 (pemerasan dengan kekerasan yang mengakibatkan luka berat atau mati), Pasal 444 (pembajakan di laut, pesisirdan sungai yang mengakibatkan kematian), beberapa peraturan di luar KUHP juga mengancamkan pidana mati bagi pelanggarnya diantaranya Pasal 2 Undang-Undang No.5 (PNPS) Tahun 1959 tentang wewenang Jaksa, Agung/Jaksa Tentara Agung dan tentang memperberat ancaman hukuman terhadap tindak pidana yang membahayakan pelaksanaan perlengkapan sandang pangan, Pasal 2 Undang-Undang No. 21 (Prp) Tahun 1959 tentang memperberat ancaman hukuman terhadap tindak pidana ekonomi, Pasal 1 ayat 1 Undang-Undang Darurat No.. 12 tahun 1951 tentang senjata api, amunisi atau sesuatu bahan peledak, Pasal 13 Undang-Undang No. 11 (PNPS) Tahun 1963 tentang pemberantasan kegiatan subversi.
Pasal 23 Undang-Undang no. 31 T ahun 1964 tentang ketentuan pokok tenaga atom, Pasal 36 ayat 4 sub b Undang-Undang no. 9 tahun 1976 tentang Narkotika, Undang-Undang No.4 Tahun 1976 tentang kejahatan penerbangan dan kejahatan terhadap sarana/prasarana penerbangan, UU No. 22 Tahun 1997 tentang Tindak Pidana Narkotik dan Psikotropika, UU No. 31 Tahun 1999 yang telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi, UU No. 26 Tahun 2000 tentang Tindak Pidana Terhadap Hak Asasi Manusia dan UU Tentang pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
Salah satu ahli hukum Indonesia yang menjadi penentang pidana mati adalalah J.E Sahetapy Dalam desertasinya yang berjudul Suatu Studi Khusus mengenai Ancaman Pidana Mati Terhadap Pembunuhan Berencana, beliau memberikan hipotesa, (1) Acaman pidana mati dalam pasal 340 KUHP dewasa ini dalam praktek merupakan suatu ketentuan abolisi de facto, (2) Acaman pidana mati dalam pasal 340 KUHP tidak akan mengenai sasarannya selama ada berapa faktor seperti lembaga banding, lembaga kasasi, lembaga grasi, kebebasan hakim dan "shame culture" dan (3) Dari segi kriminologi sangat diragukan manfaat pidana mati
Berdasarkan hal itu, perlu dicermati bahwa dalam penjatuhan pidana terhadap seseorang sangat mungkin terjadi kesalahan terutama oleh hakim, terlebih dalam keadaan penegakan hukum di Indonesia yang masih perlu dipertanyakan. Kita tidak bisa berharap sebuah keputusan yang adil dalam dunia peradilan yang masih korup.
Perlu dicatat sepanjang masih ada instrumen hukum yang memberikan ancaman pidana mati, maka sepanjang itu pula penjatuhan pidana mati dan potensi penolakan grasi oleh Presiden sangat terbuka. Oleh sebab itu sebaiknya perjuangan untuk menghapuskan pidana mati harus dibarengi dengan upaya untuk melakukan review terhadap seluruh instrumen hukum yang mencantumkan klausula ancaman pidana mati.
• 1209 reads
6. Pro dan kontra Hukuman Mati
Ingat dalam UUD 1945 banyak menjelaskan rakyat berhak ini dan berhak itu tapi dalam kenyataan hanya orang-orang yang memiliki kekuatan yang dapat melakukan pembenaran putih suatu kasus, bukan hanya masalah hukum alam tapi juga masalah kualitas sumber daya manusia, dan jalan yang membimbing kehidupan individu sendiri.
Manfaat pidana mati hanya satu yaitu mewujudkan keinginan gelap manusia akan cara keadilan, walaupun dalam pelaksanaannya dibarengi keprihatinan paternalistik.
Dunia internasional tidak mengabaikan hukuman mati sebagai gantinya menetapkan beberapa kejahatan yang kritis, yang dipandang dapat dipidana mati.
Pelaksanaan hukuman mati di Indonesia tidak seketat dan setegas RRC, Presiden, DPR, dan MA harus menetapkan tata cara hukuman mati yang ketat dan pasti.

7. HAM tidak sesuai dengan Nilai Pancasila
bicara tentang HAM tentu sangat menyakitkan kita, dengan alasan pelanggaran HAM tentara PBB yand dikomandoni australia masuk kewilayah timor-timur yang merupakan kedaulatan suatu bangsa, begitu pula tentara intermasuk di aceh dan papua dengan alasan HAM pula masuk kewilayah indonesia, HAM meninggikan hak individu seakan-akan yang itu merupakan azas yang dipakai negara liberal (tidak sepakat dengan pornografi dianggap melanggar HAM tapi tahukah kita dibalik UU Pornografi ratusan perusahaan tekstil akan masuk ke indonesia, seperti infansi amerika ke afganistan paska taliban hancur bukan kebutuhan pendidikan yang merupaka soko guru dari peradaban atau logistik yang masuk tapi industri tekstil dulu dengan wanita afganistan menganti burga), kenapa kita selalu didekte oleh internasional seakan-akan kita dipaksa untuk meratifikasi bebagai bentuk kesepakatan negara-negara barat
Pada 5 August 2009 chanchan (not verified) mengirim komentar:
sungguh dilema, disatu sisi keluarga korban atau masyarakat merasa baru adil jika terpidana di jatuhi hukuman mati, tapi disatu sisi hukum agama juga melarang manusia untuk membunuh sesamanya, karena manusia tidak punya hak sama sekali untuk mencabut nyawa seseorang. saya setuju jika hukuman mati dihapuskan. dengan begitu terpidana bisa punya kesempatan untuk bertobat. mungkin hukuman mati bisa di ganti dengan hukuman penjara dan terpidana dipekerjakan sebagai pekerja sosial di masyarakat misalnya membersihkan got, kuli atau yang lain. lumayan kan dapat tenaga buruh gratis. tapi pemerintah juga harus memperhatikan kondisi LP/penjara yang semakin hari semakin sesak terisi oleh banyaknya terpidana. siapkah pemerintah??
• reply
8. Pencabut Nyawa itu bernama "Negara" atau "Tuhan"?
Stuju dengan Judul artikelnya.. Oleh karena itu pula seharusnya kepala putusan itu berbunyi "Demi Keadilan Berdasarkan Negara" bukan "Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa".
Apakah memang benar Tuhannya Negara ini "merestui" isi putusan itu? (Mencabut Nyawa)
Konsekuensi pencantuman kata2 "Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa" dalam suatu putusan pidana mati mengharuskan kita menghubungkan Hukum dengan sesuatu yang "susah" diterima akal sehat dan oleh karena itu juga kita harus melihat kembali ke sejarahnya.
Mis:
Saya pernah membaca buku HAM dan Pluralisme Agama, disitu dikatakan: "Pelanggaran HAM pertama kali terjadi di dunia ini adalah di Taman Eden, ketika Kain membunuh adiknya Habil". Yang perlu mungkin direnungkan, Kenapa pada saat itu Tuhan tidak mencabut saja nyawa Kain sebagai hukuman/kompensasi dari kesalahannya?, apakah memang Tuhan tidak menghendaki hukuman yang seperti itu? (sebab kalau memang Dia berkehendak, tentu hal itu akan terjadi), atas dasar apa kita manusia (dengan PD-nya) mencantumkan kata2 itu dalam putusan pidana mati seolah2 Tuhan merestui isi putusan tsb?
9. Pasar Pasal di Pengadilan (Analisis Penegakan Hukum di Pengadilan Dikaitkan dengan Sosiologi Hukum)
Oleh: Doni F. Jambak, SH
[Penulis adalah Praktisi Hukum dan Mahasiswa Pasca Sarjana Universitas Andalas, Padang]
A. Pendahuluan
Mengawali tulisan ini, penulis ungkapkan pandangan ahli hukum yang mengatakan, bahwa semakin bebas penegak hukum melaksanakan tugas (kewenangan) yang ditentukan aturan formal (tidak luwes), semakin besar kemungkinan terjadinya pelanggaran (penyelewengan atau penyimpangan), karena pada dasarnya aturan (itu sendiri) merupakan musuh tersembunyi (a hidden enemy). Melihat pandangan tersebut, wajar bila sebagian besar masyarakat berpandangan sedapat mungkin hukum itu di hindari.
Penegakan hukum di ruang sidang dengan cara bisik-bisik, seliweran aplop di ruangan Hakim, teriakan vokal Jaksa dan Advokat yang mirip leluconan telah mempertontonkan proses peradilan gendeng. Pada saat itu, maka peran penegak hukum sangat ditentukan oleh kemapuan memainkan peran bunglon, yaitu peran yang dapat menciptakan suatu situasi atau kondisi yang bersifat Abjek, yaitu situasi tidak terkendali ketika setiap orang tengah asyik bermain dalam permainan mempermainkan hukum.
Dilema penegakan hukum sudah berlangsung lama. Pada tahun 399 sebelum Masehi, Socrates dalam usia 70 tahun, dihadapkan pada siding Pengadilan Heliasts (Court of the Heliasts) yang terdiri dari 501 warga Athena. Mereka serentak bertindak sebagai hakim tentang hukum, fakta dan bukti (judge of law, fact and evidence). Intinya, Socrates dituduh melakukan dua kejahatan, pertama, Socrates sengaja menolak menyembah dewa-dewa resmi Yunani (impiety). Kedua, Socrates dengan sengaja telah merusah pikiran anak muda (corrupting the youth). Pada waktu itu tidak ada jaksa. Setiap warga Athena yang merasa mempunyai bukti bahwa seseorang telah melakukan kejahatan dapat menuntut orang itu di hadapan Pengadilan Heliasts. Dengan kata lain, setiap warga Athena dapat menjadi hakim dan jaksa.


10,. Detik-detik Terakhir Pengadilan Tipikor
Oleh: Rony Saputra
[Penulis adalah Anggota Masyarakat Anti Korupsi Sumbar dan LBH Padang]
Jangka waktu membentuk Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) hanya tinggal 4 (Empat) bulan lagi, jika dibawa ke kalender politik, 4 bulan sudah termasuk dalam hitungan detik-detik terakhir. Batas waktu pembentukan Pengadilan Tipikor didasarkan kepada Putusan dari Mahkamah Konstitusi (MK) pada 19 Desember 2006 dengan Nomor 012-016-019/PUU-IV/2006. MK memerintahkan Pemerintah dan DPR untuk segera memperkuat basis konstitusional pemberantasan korupsi melalui pembentukan UU Pengadilan Tipikor sebagai satu-satunya sistem peradilan tindak pidana korupsi.
Sebelumnya, Pengadilan Korupsi di atur dalam UU No. 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi pada Bab VII Pasal Pasal 53 yang berbunyi ”Dengan Undang-Undang ini dibentuk Pengadilan Tindak Pidana Korupsi yang bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus tindak pidana korupsi yang penuntutannya diajukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi”. MK mengeluarkan Putusan membatalkan Pasal 53 UU No. 30 Tahun 2002 dengan maksud bahwa Pengadilan khusus tindak pidana korupsi sangat dibutuhkan dan konstitusional. Maka harus dibuat dalam UU khusus, yaitu UU Pengadilan Tindak Pidana Korupsi.
Selain itu, MK sebagai The Guardian of Constitution, maka setiap putusannya merupakan penjelasan serta penegasan lebih lanjut dari Konstitusi, sehingga ketidakpatuhan terhadap putusan MK merupakan perlawanan dan ”Pembangkangan” terhadap UUD 1945. Jika ditarik kebelakang, anggota DPR, ketika mencalonkan diri menejadi Caleg, maka mereka membuat pernyataan bahwa setia kepada Pancasila dan UUD 1945. Dikaitkan dengan kewajiban pembetukan UU Pengadilan Tipikor yang diperintahkan oleh MK dan sampai hari ini tidak dilaksanakan oleh DPRRI, maka atas masalah ini dapat ditarik kesimpulan bahwa anggota DPR dengan ini telah menyalahi pernyataannya sendiri dan telah dengan sengaja melanggar perintah konstitusi.
3 (tiga) tahun waktu yang diamanatkan oleh MK merupakan waktu yang panjang (lebih dari ½ masa jabatan DPR) tetapi buktinya sampai hari ini DPR-RI masih berkutat diseputar mendengarkan masukan mengenai RUU Pengadilan Tipikor. Dalam jadwal persidangan IV Tahun sidang 2008-2009 RUU Pengadilan Tipikor terdapat 13 kali sidang pansus yang dimulai 22 April 2009 sampai 1 Juli 2009 (Pembentukan Panja).
Putusan MK Nomor 012-016-019/PUU-IV/2006, sebenarnya berjalan seiring dengan keinginan dan harapan Masyarakat Indonesia yang ingin melepaskan Indonesia dari belenggu ekomoni yang bernama KORUPSI. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh ICW sepanjang 2008, sebanyak 444 terdakwa korupsi yang diadili oleh pengadilan umum, 277 diantaranya divonis bebas/lepas, bahkan ada 10 Terdakwa yang divonis percobaan, dan yang menjadi Terdakwa bukanlah aktor utama (Master Main). Kondisi ini jelas menimbulkan kekecewaan, dan mengakibatkan rendahnya deterence effect (efek jera) yang menjadi salah satu tujuan pemberantasan korupsi tentunya. Dibandingkan dengan Pengadilan Tipikor, Sejak 2005 sampai 2008 Pengadilan Tipikor setidaknya telah mengadili 92 terdakwa perkara korupsi. Tiada satupun (0 %) yang divonis bebas. Vonis yang diberikan pun cukup memberikan efek jera bagi pelaku yaitu rata-rata selama 4 tahun 2 bulan penjara.
Melihat bagusnya kinerja dari Pengadilan Tipikor ini, dipercaya dapat memberikan efek jera bagi para koruptor, karena putusan yang dijatuhkan oleh Hakim-hakim pilihan tidak main-main, semuanya rata-rat diatas 4 tahun, sesuai dengan peran dan tanggungjawab ”Pelaku”. Apakah DPR takut dengan gebrakan yang dilakukan oleh Pengadilan Tipikor? Bisa jadi ini salah satu jawabannya. Sekarang setidaknya sudah puluhan anggota DPR yang diperiksa KPK bahkan ada yang telah divonis oleh pengadilan Tipikor seperti Saleh Djasit, Noor Adenan, Hamka Yamdu dan Al Amin Nasution.

Urgensinya Pengadilan Tipikor
Sebagaimana disebutkan diatas, bahwa korupsi merupakan kejahatan yang sangat luar biasa (Very Extra ordinary Crime), prakteknya sudah berjalan cukup lama, meluas dan dilakukan secara sistematis. Dampak yang dihasilkanpun tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi telah menghambat pembangunan dan merugikan hak-hak sosial masyarakat. Karena menjadi tindak pidana yang ekstra, maka diharuskan juga penanganan yang luar biasa.
Bentuk penanganan yang luar biasa diwujudkan pemerintan dengan melahirkan Undang-Undang Pemberantasan Korupsi sebagai aturan Materil, dan Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi yang salah satu pasalnya (P:53) mengatur Pengadilan Korupsi yang di batalkan oleh MK, karena menurut MK untuk pengadilan Korupsi harus diatur dengan UU khusus tersendiri yang harus diselesaikan oleh Pemerintah dan DPR dalam jangka waktu 3 Tahun, jika dalam 3 tahun tidak terbentuk UU Pengadilan Tipikor, maka semua perkara korupsi termasuk yang disidik oleh KPK harus diadili/disidang di pengadilan umum yang sampai sekarang masih diragukan integritas para hakimnya. Dan KPK pun sudah menyatakan akan menghentikan pelimpahan kasus korupsi dari penyidikan ke penuntutan ke Pengadilan Tipikor pada bulan September 2009 untuk antisipasi problematika hukum.
Dari masalah yang dianggap mendesak diatas, maka Presiden seharusnya mengambil sikap segera menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu). Karena Presiden diberikan kewenangan sebagai mana dalam Pasal 22 ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi ”Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang”. Untuk mengeluarkan Perppu ini merupakan ujian bagi Presiden, apakah benar SBY berkomitmen dengan pemberantasan korupsi dan layak dipilih kembali dalam pemilu mendatang. Semoga!!
11. Gratifikasi
Oleh: Andi Wahyu W
[Penulis adalah praktisi dan pemerhati hukum]
Dikisahkan pada jaman Nabi Muhammad terdapat seorang pejabat penarik zakat di Distrik Bani Sulaim yang bernama Ibn al-Lutbiyyah. Pada prakteknya ia mengambil sedikit harta zakat yang dikumpulkannya yang ia klaim sebagai hadiah. Mendengar hal itu, Nabi memberi reaksi sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Daud, bahwa orang yang telah diangkatnya sebagai pejabat maka jika ia menerima sesuatu yang di luar gajinya adalah tindakan korupsi.
Black’s Law Dictionary memberikan pengertian gratifikasi sebagai “a voluntarily given reward or recompense for a service or benefit” yang dapat diartikan gratifikasi adalah “sebuah pemberian yang diberikan atas diperolehnya suatu bantuan atau keuntungan”.
Pemidanaan Gratifikasi.
Gratifikasi berbeda dengan hadian dan sedekah. Hadiah dan sedekah tidak terkait dengan kepentingan untuk memperoleh keputusan tertentu, tetapi motifnya lebih didasarkan pada keikhlasan semata. Gratifikasi pemberian untuk memperoleh keuntungan tertentu lewat keputusan yang dikeluarkan oleh penerima gratifikasi. Pemikiran inilah yang menjadi landasan pasal pemidanaan gratifikasi. Pasal pemidanaan gratifikasi, Pasal 12B ayat (1) UU No. 31/1999 yo UU No. 20/2001, yang berbunyi setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya.
Dari rumusan pasal tersebut, berarti tidak semua gratifikasi menjadi suap. gratifikasi yang menjadi suap yang berakibat hukuman pidana (pemidanaan gratifikasi) (pasal 12B(2)).
Pembuktian Tindak Pidana Gratifikasi.
Dari rumusan pasal 12B ayat (1) UU No. 31/1999 yo UU No. 20/2001, unsur tindak pidana Gratifikasi atau suap ada dua, pertama, pemberian dan penerimaan gratifikasi (serah terima); kedua, berhubungan dengan jabatan dan berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya. Pada unsur kedua ini, muncul konstruksi yuridis turunan (unsur derivatif) unsur kedua dua hal, yaitu mengeluarkan putusan dari jabatannya yang bertentangan dengan kewajiban atau tugasnya. Dan, putusan tersebut menguntungkan pihak pemberi gratifikasi. Ini berarti, dalam unsur kedua, ada putusan jabatan yang putusan tersebut bertentangan dengan kewajiban atau tugasnya (melawan hukum) dan ada keuntungan dari putusan tersebut pada pemberi gratifikasi.
Unsur pertama dan unsur kedua, diikat oleh rumusan kata”apabila berhubungan dengan”. Ini menunjukan adanya hubungan sebab akibat (qondite sine quanon) antara unsur pertama dengan unsur kedua. Kata “apabila” menunjukan bahwa pembentuk undang-undang mengakui bahwa tidak semua gratifikasi berkaitan dengan jabatan (unsur kedua). Tanpa adanya hubungan sebab akibat dua unsur tindak pidana gratifikasi atau suap tidak bisa menyatu menjadi tindak pidana gratifikasi atau suap.
Pembuktian adanya tindak pidana gratifikasi berarti menunjukan adanya dua unsur tersebut diatas dan menunjukan relasi sebab akibat antara dua unsur tersebut. Secara operasional, yang harus dibuktikan oleh Jaksa Penuntut Umum; pertama, adanya serah terima gratifikasi, kedua, adanya putusan yang memberikan keuntungan pada penerima gratifikasi, ketiga, adanya sebab akibat dari dua hal tersebut.
Sahkah Tangkap Tangan Gratifikasi ?
Penangkapan pelaku gratifikasi secara hukum pidana terkait dengan kapan gratifikasi menjadi tindak pidana sehingga aparat hukum atau penyidik bisa melakukan tindakan hukum termasuk penangkapan pada saat menerima gratifikasi atau yang biasa disebut dengan istilah tangkap tangan. Kewenangan aparat melakukan tangkap tangan hanya pada perbuatan hukum yang masuk kualifikasi tindak pidana.
Menurut Undang-Undang yang berlaku, sesungguhnya penerimaan gratifikasi tidak otomatis menjadi perbuatan yang terkualifisir sebagai tindak pidana. Hal ini bisa dilihat dari rumusan pasal 12 C (1) yang berbunyi; ketentuan sebagaimana dimaksud pasal 12B (1) tidak berlaku jika penerima gratifikasi melaporkan gratifikasi yang diterimanya kepada KPK. Penerima gratifikasi masih memiliki waktu 30 hari untuk melaporkan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) (Pasal 12C (2)). Pasal 12C ayat 1 dan ayat 2 menghapus ketentuan pemidanaan gratifikasi sebagaimana dalam pasal 12B ayat 1. Ini berarti, penerimaan gratifikasi belum otomatis menjadi tindak pidana karena undang-undang masih memberikan kesempatan untuk melaporkan kepada KPK. Lantas, KPK dalam waktu 30 hari sejak menerima laporan gratifikasi wajib menetapkan gratifikasi dapat menjadi milik negara. (pasal 12C(1)).
Gratifikasi sebagai simbol.
Berdasarkan kontruksi hukum diatas, sesungguhnya penangkapan tangan penerimaan gratifikasi tidak bisa dibenarkan karena bertentangan dengan pasal 12C (1). Namun, disisi lain, penangkapan gratifikasi sangat bermanfaat untuk mengungkapkan adanya kesepakatan perbuatan tindak pidana korupsi. Hal ini karena gratifikasi menjadi artefak atau simbol atau kesepakatan tersebut. Gratifikasi merupakan wajah di ujung permainan konspiratif tindak pidana korupsi.Tanpa ada tangkan tangan gratifikasi tidak mungkin atau sulit mengungkapkan adanya konspirasi tindak pidana korupsi.
Oleh karena itu, seharusnya KPK jika berhasil menangkap tangan peristiwa gratifikasi, lantas jangan berkutat di gratifikasinya tapi harus menjadikan tangkap tangan gratifikasi sebagai cara menangkap tangan adanya perbuatan konspirasi koruptif. Jangan sampai penerima gratifikasi ditangkap diproses pidana, sementara yang berada dikonspirasi (awal permainan konspiratif) tidak tersentuh proses pidana. Bisa jadi yang tertangkap tangan hanyalah satu dua orang dari peserta konspirasi yang mana peserta lain lebih besar menikmati keuntungan materi yang diperoleh dari perbuatan konspirasi.
12. Pelajaran Dari Vonis Salah
Oleh: Irfan R. Hutagalung.
[Penulis adalah Analis Hukum dan Perundang-undangan, Konsultan Bebas pada PSHK]
Devid Eko Prianto dan Imam Hambali a.k.a Kemat meringkuk di penjara karena vonis hakim menyatakan mereka terbukti membunuh Asrori yang mayatnya ditemukan di kebun tebu, Jombang. Maman Sugianto alias Sugik, teman mereka, tengah menjalani peradilan untuk kasus yang sama. Ternyata, mayat yang tercampak di kebun tebu itu bukan Asrori. Mayat Asrori sendiri belakangan diketahui terkubur di luar rumah orang tua Very Idham Heniansyah a.k.a Ryan di Jombang. Ryan mengakui membunuhnya. Polisi, yang mengawali penyidikan pembunuhan ini, dengan uji DNA, telah pula memastikan Asrorilah salah satu mayat yang berhasil diangkat dari belakang rumah orang tua Ryan itu.
Lalu, polisi akhirnya mampu mengidentifikasi mayat di kebun tebu. Itu adalah mayat Ahmad Fauzin Suyanto alias Antonius. Tersangka pembunuhnya (kalau polisi tidak salah lagi) pun sudah tertangkap: Rudi Hartono yang bernama lain Rangga.
Cerita Devid-Kemat-Sugik ini adalah ulangan terkini dari beberapa ihwal serupa sejak pertama kali terekspos pada kasus Sengkon-Karta lebih dari tiga puluh tahun lampau. Terungkapnya kasus salah mengadili (wrongful conviction) ini merupakan kegagalan sistemik peradilan pidana untuk mengantisipasi: kesimpulan penyidikan suatu perkara, pembuktian di pengadilan sampai kesimpulan hakim bisa keliru.
Akibatnya tragis. Pertama, ketika diketahui bahwa persidangan atau putusannya galat, para korban peradilan ini tidak segera terpulihkan statusnya sebagai orang yang tidak bersalah. Apalagi pasti dan lekas mendapat ganti rugi atas penderitaan akibat kecerobohan peradilan itu. Sampai tulisan ini dibuat dan setelah lebih dua bulan sejak dipastikannya mayat di kebun tebu bukan Asrori, Devid dan Kemat masih mendekan di penjara, sementara Sugik masih disidang di PN Jombang.
Untuk mendapat pemulihan status (exoneration), Devid dan Kemat harus mengajukan upaya hukum Peninjauan Kembali (PK). Suatu upaya hukum yang tidak pro korban karena korbanlah yang harus aktif menyediakan dan memaparkan fakta baru (novum) kepada suatu peradilan baru untuk menunjukkan keteledoran proses peradilan sebelumnya. Sementara bagi Sugik, agaknya dia harus tabah menunggu jaksa penuntut umum dan majelis hakim mampu keluar dari jerat interpretasi mereka atas KUHAP. Uji DNA sebagai salah satu cara identifikasi untuk mendukung pembuktian, mungkin masih asing buat mereka. Karenanya, mereka masih ngotot melanjutkan peradilan.
Kedua, munculnya korban putusan keliru diketahui bukan lewat mekanisme yang tersedia dalam sistem peradilan pidana, melainkan oleh faktor kebetulan. Andaikan Ryan tak pernah tertangkap dan mengaku membunuh Asrori! Atau, mayat Asrori tak pernah ditemukan sehingga uji DNA tak mungkin bisa dilakukan atasnya. Bayangkan jika Gunel tak pernah mengaku sebagai pembunuh sesungguhnya pada kasus Sengkon-Karta! Dan, Risman Lakoro dengan istrinya Rostin Mahadji, korban serupa dari Gorontalo, pasti akan mendekam di penjara selama masa hukuman jika Alta Lakoro, anaknya, yang menurut hakim telah mereka bunuh tak pernah pulang ke rumah.
Terkait dengan tragedi pertama, sistem peradilan pidana harus mampu memformulasikan suatu strategi hukum jalan keluar guna segera memulihkan korban ke keadaan semula. Termasuk memberikan kompensasi. Upaya hukum yang ada tidak memihak korban. Di samping prosesnya memakan waktu, upaya hukum ini meletakkan beban penganuliran putusan peradilan yang salah itu kepada korban. Bukan pada pihak yang telah melakukan kesalahan itu sendiri: penyidik, penuntut umum, atau majelis hakim.
Sehubungan dengan petaka kedua, aparat penegak sistem peradilan pidana harus berani menangkap pesan bahwa adanya korban sejenis yang belum terungkap sangat mungkin. Bahkan, para korban disebut di atas mungkin saja fenomena puncak gunung es.
Sistem peradilan pidana jangan membiarkan para korban dimaksud menunggu berputus asa akan datangnya kebenaran yang entah kapan. Untuk itu, suatu aksi hukum semacam penyidikan ulang atas para tersangka atau terpidana yang ketika disidik diduga menabrak KUHAP misalnya, mendesak dikerjakan. Seperti absennya penasehat hukum tersangka; intimidasi; penyiksaan -pola umum yang diduga menimpa Devid-Kemat-Sugik, Sengkon-Karta, Risman-Rostin- saat dimintai keterangan oleh penyidik. Kepolisian berani meminta maaf atas kesalahan penyidikan yang dilakukan aparatnya. Keberanian ini harusnya diimplementasikan dalam aksi hukum nyata seperti disebut di atas.
Langkah merumuskan strategi hukum untuk lekas memulihkan status korban dan menemukan dugaan korban vonis salah, harus diletakkan dalam paradigma baru: sistem peradilan pidana termasuk KUHAP tidak selalu bisa memastikan setiap output-nya pasti benar. Rencana revisi KUHAP juga harus berawal dari pola pikir ini.
• 3162 reads
13. peradilan sesat akibat belenggu paradigma positivisme
Kejadian salah vonis atau peradilan sesat kembali terulang. Mengapa para penegak hukum tidak mengaca pada kejadian-kejadian sebelumnya. Ini dikarenakan pola pikir hampir sebagian besar birokrat di negara ini khususnya penegak hukumnya yang masih dibelenggu oleh paham positivisme. Suatu paham yang berkembang di Eropa daratan saat Belanda menjajah negeri ini dengan sistem kodifikasinya. Dan akibat penjajahan belanda yang terlalu lama sistem hukum Indonesia mengikuti apa yang sudah diterapkan Belanda dengan sistem hukum positipnya yang mengutamakan sumber hukum tertulis atau undang-undang. Akibatnya apabila tidak diatur dalam UU maka penegak hukum tidak boleh melakukannya. Dan inilah yang terjadi dalam kasus David dan Kemat. Meskipun telah ditemukan pelaku pembunuhan sebenarnya, namun tidak otomatis terpidana yang sudah divonis bisa bebas begitu saja dari penjara. Mereka harus menempuh upaya hukum yang ditentukan KUHAP yaitu PK. Begitu juga dengan persidangan terdakwa lainnya (sugik), Hakim dan Jaksa tidak berani melakukan terobosan untuk menghentikan persidangan karena menurut mereka tidak ada aturannya dalam hukum acara. Sehingga keadilan bagi korban salah tangkap dan peradilan sesat tidak dapat segera. Karena itu sudah waktunya para penegak hukum keluar dari kungkungan paham positivisme dengan paradigma baru yang lebih berorientasi keadilan masyarakat.

14. Ratifikasi Statuta ICC: Problema dan Prospeknya
Oleh: PROF.DR.ROMLI ATMASASMITA,S.H.,LL.M
[Penulis adalah Gurubesar Hukum Pidana Internasional UNPAD]
Pengantar
Penyusunan Statuta ICC telah melalui sejarah perjalanan yang panjang, dirintis sejak tahun 1952 oleh Komisi Hukum Internasional yang telah diberi mandat oleh Majelis Umum PBB. Pada tahun 1994, Komisi Hukum Internasional telah berhasil menyelesaikan Draft Statuta yang pertama, dan dua tahun kemudian, pada tahun 1996, Komisi Hukum Internasional telah berhasil menyepakati Draft final mengenai, ” Code of Crimes Against the Peace and the Security of Mankind”. Kedua Draft Code tersebut merupakan karya ahli hukum internasional yang sangat monumental di dalam mempersiapkan Statuta Mahkamah Tetap Pidana Internasional.
Sejalan dengan resolusi Sidang Majelis Umum PBB tahun 1996 dan 1997, telah diselenggarakan Konprensi Diplomatik mengenai Pembentukan Mahkamah Tetap Pidana Internasional di Roma pada tanggal 15 Juni tahun 1998 sampai dengan tanggal 17 July 1998, diikuti oleh 160 negara anggota Delegasi termasuk Indonesia.Statuta ICC telah diadopsi pada tanggal 17 Juli 1998 dan telah berlaku efektif sejak tahun 2002, sampai saat ini telah tercatat 120 negara penandatangan, dan 104 negara peratifikasi, diantaranya, termasuk di Asia yaitu Kamboja (ratifikasi tanggal 11 April 2002); dan Timor Leste,(ratifikasi pada tanggal 6 September 2002).
Perlu diketahui pada saat adopsi SICC, 120 negara peserta setuju mengadopsi SICC, 7 negara peserta menolak termasuk Amerika Serikat, dan 21 negara peserta menyatakan abstain.Sampai saat ini,belum ada satupun negara Uni Emirat dan negara teluk telah meratifikasi SICC, begitupula negara anggota Asean. Bahkan anggota tetap Dewan Keamanan PBB, Amerika Serikat, Rusia, China,tidak meratifikasi statuta tersebut dengan berbagai pertimbangan kepentingan nasional dan internasional yang dihadapi baik sekarang maupun untuk masa yad. Israel secara tegas menolak menjadi negara pihak dalam SICC.
15. Pengadilan Tipikor dan Upaya Luar Biasa dalam Pemberantasan KKN
Oleh : Ikhwan Fahrojih, S.H.
[Penulis adalah Peneliti Komisi Hukum Nasional Republik Indonesia (KHN RI)]

Pendahuluan
Korupsi telah meluluhlantankkan sendiri-sendi kehidupan bernegara dan memandulkan fungsi negara sebagai pengemban amanat mensejahterakan, melayani dan mencerdaskan rakyat. Kejahatan ini telah terjadi secara sistemik dan meluas, melibatkan setiap struktur aparatur negara secara bersekongkol, setitik kebaikan yang tumbuh menjadi musuh bersama di internal institusi negara, aparatur negara tidak lagi mengabdikan dirinya untuk kepentingan rakyat tapi berlomba-lomba memperkaya dirinya sendiri, predikat sebagai abdi negara hanyalah simbol kehormatan tanpa makna, karena hanya sebagai tameng untuk menutupi praktek-praktek kebathilan, akibatnya jutaan orang menganggur, miskin, lapar dan terbelakang. Oleh karena itulah korupsi digolongkan sebagai kejahatan luar biasa (extra ordinary crime) yang upaya pemberantasannya juga harus dilakukan denga cara yang luar bisa pula.
Dalam Penjelasan umum UU No. 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dinyatakan :
”.......mengingat korupsi di Indonesia terjadi secara sistemik dan meluas sehingga tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga telah melanggar hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat secara luas, maka pemberantasan korupsi perlu dilakukan dengan cara luar biasa. Dengan demikian pemberantasan tindak pidana korupsi harus dilakukan dengan cara yang khusus.......”
Penjelasan umum UU No. 30 tahun 2002 juga menyatakan :
”Meningkatnya tindak pidana korupsi yang tidak terkendali akan membawa bencana tidak saja terhadap kehidupan perekonomian nasional tetapi juga pada kehidupan berbangsa dan bernegara pada umumnya. Tindak pidana korupsi yang meluas dan sistemis juga merupakan pelaggaran terhadap hak-hak sosial dan hak-hak ekonomi masyarakat, dan karena itu semua maka tindak pidana korupsi tidak lagi dapat digolongkan sebagai kejahatan biasa melainkan telah menjadi suatu kejahatan luar biasa. Begitu pun dalam upaya pemberantasannya tidak lagi dapat dilakukan secara biasa, tetapi dituntut cara-cara yang luar biasa”.
”Penegakan hukum untuk memberantas tindak pidana korupsi yang dilakukan secara komvensional selama ini terbukti mengalami berbagai hambatan. Untuk itu diperlukan metode penegakan hukum secara luar biasa melalui pembentukan suatu badan khusus yang mempunyai kewenangan luas, independen serta bebas dari kekuasaan manapun dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi, yang pelaksanaanya dilakukan secara optimal, intensif, efektif, profesional serta berkesinambungan”
16. Peran BPK Dan DPR dalam Pengawasan Keuangan Negara
Oleh : Ikhwan Fahrojih, S.H.
[Penulis adalah Peneliti Komisi Hukum Nasional Republik Indonesia (KHN RI)]

A. Latar belakang
Pengelolaan dan tanggung jawab Keuangan Negara berperan penting dalam mewujudkan tujuan bernegara sehingga the founding fathers merasa perlu membentuk suatu lembaga negara khusus yang bersifat independen, obyektif dan bebas dari pengaruh pemerintah untuk memeriksa cara pemerintah mempergunakan anggaran negara yang sudah disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), lembaga dimaksud adalah Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Namun keberadaan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) di masa orde baru ternyata tidak sesuai dengan harapan dan cita-cita the founding fathers.
BPK di masa orde baru berada dibawah bayang-bayang Pemerintah, misalnya dalam hal pemilihan anggota, pengaturan organisasi, karyawan, penetapan anggaran, pembatasan obyek pemeriksaan dan penetapan metodologi pemeriksaan. Pada masa lalu pemutakhiran laporan pemeriksaan BPK dikonsultasikan kepada pemerintah agar tidak menggangu stabilitas politik . Demikian pula dalam hal SDM, jumlah personelnya hanya sepertiga jumlah personel BPKP, pendidikan rata-rata sumber daya manusia tidak sebaik karyawan BPKP dan anggarannya lebih kecil daripada BPKP. Sementara Lembaga Pengawas Keuangan Internal dibuat berlapis-lapis dan tumpang tindih terdiri dari BPKP, Irjen Departemen dan Lembaga serta Bawasda, baik tingkat propinsi mapun Kabupaten/Kota.
Gerakan reformasi yang salah satu semangat utamanya adalah pemberantasan KKN, menyadari peran penting yang diemban BPK sebagai lembaga pemeriksa yang bebas dan mandiri untuk mendeteksi berbagai praktek-praktek penyalahgunaan keuangan negara untuk kepentingan pribadi atau kelompok, sehingga amandemen UUD 1945 memperkuat kedudukan dan fungs BPK sebagai satu-satunya eksternal auditor.
Selain memperkuat kedudukan dan fungsi BPK, peraturan perundang-undangan tentang pengelolaan keuangan negara juga diperbaharui karena peraturan perundang-undangan yang lama produk pemerintah kolonial Belanda dirasa tidak cukup mampu menjadi dasar dalam pengelolaan Keuangan Negara secara baik, bahkan menjadi salah satu sumber terjadinya berbagai penyimpangan, maka lahirlah serangkaian undang-undang yang berkaitan dengan pengelolaan keuangan negara antara lain dengan UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, UU No. 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, No. 15 tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggungjawab Keuangan Negara serta UU BPK yang pengganti UU No. 3 tahun 1973 tentang BPK .
17. Dilema Hukuman Mati
Oleh: Sudi Prayitno, S.H., LL.M.
[Penulis adalah Direktur Kantor Hukum Justitia Padang dan Advokat pada LBH Padang]
Hukuman mati (the death penalty), sekalipun sudah memicu perdebatan sejak ratusan tahun lalu, namun tetap menjadi sorotan publik bahkan memicu kerusuhan yang berujung pada tindakan perusakan terhadap sejumlah kantor pemerintah. Setidak-tidaknya, reaksi itulah yang terjadi pada hari-hari pasca eksekusi terhadap Fabianus Tibo, Dominggus da Silva, dan Marinus Riwu, terpidana mati dalam kasus kerusuhan Poso, yang “diakhiri’ nyawanya oleh regu tembak dua tahun lalu atau tepatnya pada tanggal 22 September 2006. Tibo Cs., bukanlah terpidana terakhir yang harus menghadapi hukuman mati, tetapi masih ada ratusan terpidana mati lain yang kini sedang menunggu pelaksanaan hukuman mati. Angka ini jelas bukan merupakan jumlah yang kecil, bila mengingat Indonesia –menurut catatan Amnesty International- tergolong sebagai salah satu negara yang paling minim menerapkan hukuman mati sampai tahun 2001, dikaitkan pula dengan jumlah negara penganut hukuman mati (retentionist countries) yang terus-menerus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Bisa jadi, kini Indonesia menjadi salah satu negara yang paling banyak menjatuhkan hukuman mati dibanding negara lain di dunia.
Secara yuridis, pelaksanaan hukuman mati terhadap Tibo Cs. dan ratusan terpidana mati lain, didasarkan pada putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap (incracht van gewssdje). Putusan mana didasarkan pada ketentuan hukum positif yang berlaku, seperti KUHP, UU No 7/Drt/1955, UU No 22 Tahun 1997, UU No 5 Tahun 1997, UU No 31 Tahun 1999, UU No 26 Tahun 2000, dan lain sebagainya. Dari kenyataan ini, terlihat bahwa penerapan hukuman mati di Indonesia semakin menunjukkan kecederungan yang meningkat dilihat dari peningkatan jumlah peraturan perundang-undangan yang mengatur hukuman mati. Persoalannya, apakah penerapan hukuman mati seperti yang diberlakukan terhadap Tibo Cs. dan ratusan terpidana mati lain, memang masih layak dipertahankan? Sejalankah praktek penghukuman seperti itu dilihat dari perspektif hak asasi manusia dan tujuan penghukuman itu sendiri?.
Beberapa filsafat memandang tujuan penghukuman atau pidana sebagai bentuk pembalasan dan pemberi rasa takut atau efek pencegah (deterrent effect) bagi orang lain agar tidak melakukan kejahatan serupa di kemudian hari. Di sisi lain, ada pula yang memandang hukuman sebagai cara untuk memperbaiki dan memberi efek jera bagi si pelaku sehingga tidak mau lagi melakukan perbuatan serupa di kemudian hari. Menurut pandangan pertama, tujuan hukuman baru akan terwujud apabila pelaku kejahatan diganjar dengan hukuman yang setimpal dengan perbuatannya dan semakin berat hukuman akan semakin membuat orang takut melakukan kejahatan. Masalahnya, apakah filosofi deterrent effect itu berjalan efektif? Melihat praktek pelaksanaan pidana mati yang ada di Inggris, dimana pada saat orang ramai berkerumun untuk menyaksikan penggantungan sang pencopet, para pencopet lain justeru menggunakan kesempatan itu untuk menggerayangi saku para penonton (J.E. Sahetapy: 2006), melahirkan keraguan apakah penerapan hukuman mati akan membuat orang takut atau justeru semakin berani untuk melakukan kejahatan. Bila penerapan hukuman mati itu dimaksudkan sebagai ketentuan hukum tertulis yang berfungsi untuk menakut-nakuti (sock therapy law), justeru semakin banyak orang yang tidak takut melakukan korupsi, membunuh secara berencana, melakukan kejahatan terorisme, pelanggaran hak asasi manusia, dan sebagainya.
Hukuman mati, mungkin akan membuat kejahatan si pelaku terbalaskan setidaknya bagi keluarga korban dan akan membuat orang lain takut melakukan kejahatan karena akan diancam dengan hukuman serupa. Namun hal itu jelas tidak akan dapat memperbaiki diri si pelaku dan membuat dirinya jera untuk kemudian hidup menjadi orang baik-baik, karena kesempatan itu sudah tidak ada lagi disebabkan dirinya sudah dimatikan sebelum sempat memperbaiki diri. Sebaliknya, tanpa dihukum mati pun, seorang pelaku kejahatan dapat merasakan pembalasan atas tindakannya dengan bentuk hukuman lain, misalnya dihukum seumur hidup dengan atau tanpa pencabutan beberapa hak tertentu atau penjara di tempat yang jauh dan terpencil. Begitu juga bagi masyarakat, penjatuhan hukuman penjara untuk waktu tertentu di suatu tempat tertentu atau perampasan beberapa barang tertentu, dapat memberi rasa takut bagi seseorang untuk melakukan kejahatan.
Dari perspektif hak asasi manusia, penerapan hukuman mati dapat digolongkan sebagai bentuk hukuman yang kejam dan tidak manusiawi, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 3 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Rights) yang berbunyi, “Setiap orang berhak atas kehidupan, kebebasan dan keselamatan sebagai individu”. Jaminan ini dipertegas dengan Pasal 5 DUHAM dan Pasal 7 Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (International Covenant on Civil and Political Rights-ICCPR) yang berbunyi, “Tidak seorang pun boleh disiksa atau diperlakukan secara kejam, diperlakukan atau dihukum secara tidak manusiawi atau dihina“ dan dikuatkan dengan Protokol Opsional Kedua atas Perjanjian Internasional mengenai Hak-hak Sipil dan Politik tahun 1989 tentang Penghapusan Hukuman Mati. Sekalipun instrumen hukum internasional yang mengatur persoalan hak asasi manusia tersebut tidak dapat memaksa suatu negara untuk mematuhinya kecuali negara yang bersangkutan telah menandatangani rumusan hukum yang tertuang dalam perjanjian internasional yang dibuat untuk itu, namun sebagai bagian dari masyarakat bangsa-bangsa yang berkomitmen memajukan hak asasi manusia, Indonesia wajib menghormati dan melindungi hak asasi manusia setiap warga negaranya tanpa pandang bulu.
Sayangnya, meskipun ICCPR sudah diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 yang berarti kewajiban untuk melaksanakan ketentuan didalam kovenan tersebut telah secara otomatis melekat pada Pemerintah Indonesia, belum terlihat adanya political will dari pemerintah untuk menghapuskan pidana mati di Indonesia. Agaknya, problematika penerapan hukuman mati di Indonesia tampaknya sudah mendesak untuk dicarikan jalan keluarnya. Lahirnya berbagai peraturan perundang-undangan yang memungkinkan diterapkannya pidana mati di satu sisi dan adanya jaminan dalam Konstitusi RI UUD 1945 (Amandemen Kedua) Pasal 28I Ayat (1) yang berbunyi “Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya” yang diikuti dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM yang menegaskan bahwa “Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, …. dst, adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun” (Pasal 4), jelas menunjukkan kesimpangsiuran peraturan perundang-undangan yang ada di Indonesia. Sulit kiranya menerima, peraturan perundang-undangan yang seharusnya dibuat untuk melindungi HAM setiap orang justeru menjadi alat legitimasi untuk melakukan pelanggaran HAM itu sendiri. Agaknya, fakta itulah yang saat ini sedang terjadi di negeri ini.
___________________________________
Sudi Prayitno, S.H., LL.M
Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Padang
Jl. Pekanbaru No. 21 Ulak Karang Padang
Telp. (0751) 7051750, Fax. (0751) 7056079
Home
18. Perselingkuhan Birokrasi dan Korupsi
Oleh: Wahyudi Djafar
[Sumber dari: Bloglaw wahyudidjafar.wordpress.com]
Boleh dikatakan korupsi telah menjadi akar dari semua permasalahan (the root of all evils) yang bergolak di Indonesia, terutama faktor yang berasal dari dalam negeri. Salah satu penyebab marak terjadinya tindak pidana korupsi adalah rendahnya akuntabilitas birokrasi publik.[1] Melihat fenomena yang berkembang di Indonesia, birokrasi dan korupsi bisa diibaratkan seperti sekeping uang logam, keduanya tidak terpisahkan, dimana ada birokrasi disitu ada korupsi. Ini tentu mengkhawatirkan, korupsi telah memiliki struktur dan menjadi kultur dalam proses birokrasi.
Korupsi sudah membentuk jaringan sistemik yang sangat kuat dalam lingkaran birokrasi Indonesia. Untuk itu perlu kiranya, mengkaji birokrasi guna mencari formulasi dalam melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi. Menurut Weber, tingkah laku manusia diarahkan kepada seperangkat aturan, sedangkan aturan tersebut merupakan usaha untuk mengatur tingkah laku yang berbeda, disinilah hakikat dari suatu organisasi, yaitu adanya aturan-aturan yang berbeda untuk mengarahkan pada suatu tingkah laku yang organisasional. Weber menyebut aturan-aturan tersebut sebagai tatanan administrasi. Di dalamnya kemudian ada staf administrasi (pejabat), pada satu sisi staf administrasi tersebut memiliki kewajiban untuk menaati aturan yang ada, namun di sisi lain dia juga harus melakukan pengawasan, apakah anggota yang lain juga mentaatinya.
Dari kondisi inilah selanjutnya muncul apa yang disebut dengan birokrasi. Birokrasi sangat identik dengan pejabat dan jabatan, dalam sudut pandang sosiologi, model weberian khususnya, pejabat merupakan tipe peranan sosial yang penting. Bahwa pejabat adalah seseorang yang memiliki tugas-tugas khusus dan fasilitas yang dimilikinya dalam melaksanakan jabatannya merupakan pemberian dari orang lain. Perbedaan antara pejabat dan kelas pekerja adalah terdapat pada otoritasnya, dalam melaksanakan tugas. Seorang pejabat memiliki otoritas jabatan, sedangkan pekerja hanya melaksanakan perintah majikan.[2] Bagi Max Weber, birokrasi merupakan bentuk organisasi yang paling rasional dalam masyarakat modern.[3] Ciri-ciri birokrasi menurut Weber adalah:[4]
a. Sistem kewenangan yang hirarki, artinya hirarki jabatan dibagi secara jelas dan tegas;
b. Pembagian kerja yang sistematis, artinya para pejabat hanya hanya menjalankan tugas-tugas impersonal sesuai dengan jabatannya;
c. Spesifikasi tugas yang jelas, adanya pembagian fungsi jabatan;
d. Kode etik disiplin dan prosedur yang jelas dan sistematis;
e. Kontrol operasi melalui sistem aturan yang berlaku secara konsisten;
f. Aplikasi kaidah-kaidah umum ke hal-hal spesifik dengan konsisten;
g. Seleksi pegawai yang didasarkan pada kualifikasi standar yang objektif;
h. Sistem promosi berdasarkan senioritas atau jasa, atau keduanya.
i. Pejabat sangat mungkin tidak sesuai dengan pos jabatannya maupun dengan sumber-sumber yang tersedia di pos tersebut.
j. Pejabat tunduk pada sistem disiplin dan kontrol yang seragam.
Perkembangannya, weber menolak menggunakan sebutan birokrasi, apabila diperuntukkan bagi pejabat yang dipilih atau seseorang yang diseleksi oleh sekumpulan orang. Dalam konteks sekarang, yang tidak termasuk dalam lingkaran birokrasi menurut Weber adalah mereka para anggota DPR dan komisi-komisi. Sebab, ciri utama dari pejabat birokrasi adalah mereka yang memperoleh jabatannya karena diangkat oleh orang lain. Weber mengatakan: “tidak ada pelaksanaan otoritas yang benar-benar birokratis, yakni semata-mata melalui pejabat yang dibayar dan diangkat secara kontraktual.”
Birokrasi yang rasional merupakan unsur pokok dalam proses rasionalisasi dunia modern, dan kedudukannya adalah lebih penting dari pada proses sosial, sebab birokrasi rasional sangatlah berperan dalam memberikan arahan untuk memimpin suatu organiasi sosial –administrasi publik-.[5] Teori inilah yang selanjutnya bisa menjadikan birokrasi sebagai kerangkeng besi dalam masayarakat modern, sebab ada kecenderungan yang melekat dalam birokrasi. Kecenderungan tersebut kemudian melahirkan adanya akumulasi kekuasaan yang terus-menerus, yang mengakibatkan terciptanya jaringan korupsi sistemik dan terstruktur dalam jalur biorokrasi. Oleh karenanya kemudian Weber memberikan batasan-batasan dalam sistem birokrasi. Batasan-batasan tersebut adalah:[6] 1) kolegalitas, dalam artian bahwa kolegalitas harus dikurangi; 2) Adanya pemisahan kekuasaan; 3) Administrasi amatir, bahwa para pegawai adminsitrasi harus digaji secara layak, agar tidak tergantung kepada orang-orang yang memiliki sumber keuangan yang kuat; 4) Adanya demokrasi langsung; 5) adanya representasi atau perwakilan dalam birokrasi.
Berbeda dengan Weber yang memposisikan diri sebagai seorang idealis, dengan menekankan besarnya peranan ide dalam perubahan masyarakat. Marx menempatkan diri sebagai seorang yang materialis, yang berusaha melihat penyebab perubahan masyarakat dari hal-hal yang kasat mata, yang dapat diamati, khususnya dalam perubahan relasi-relasi produksi. Namun, Marx juga bukan seorang materealis murni, sebab ia juga mengakui pentingnya ide-ide. Akan tetapi, menurutnya ide hanya digunakan oleh sekelompok elit untuk menguasai alat-alat produksi. Marx memandang bahwa birokrasi merupakan instrumen yang dipergunakan oleh kelas yang dominan (dalam hal ini pengaruhnya, bukan secara kuantitas) untuk melaksanakan kekuasaan dominasinya atas kelas-kelas sosial lainnya (tertindas/proletariat), dengan kata lain birokrasi memihak kepada kelas partikular yang mendominasi tersebut (kelompok elit). Pandangan ini bisa kita temukan dalam Manifesto Partai Komunis 1848 yang ditulis Marx dan Engels, disebutkan bahwa kekuasaan politik (negara/birokrasi) hanyalah kekuasaan suatu kelas yang terorganisir untuk menekan kelas yang lain. Perjalanannya, sampai akhir karirnya, Marx tidak meninggalkan suatu konsep sistem birokrasi yang tegas dalam negara komunis, akibatnya terjadi penafsiran ulang yang luar biasa atas teori-teori marxis, seperti halnya Lenin (Marxisme-Leninisme), seorang Marxis Rusia dan pendiri Uni Sovyet yang menafsirkan teori marxis dengan sangat baru, dan ketika dilanjutkan oleh Stalin (penerus Lenin), teori-teori Marx banyak disusun dalam interpretasi yang sangat kaku, yang akibatnya melahirkan pemerintahan diktator.
Terlepas dari pengaruh para ideolog tentang birokrasi, yang jelas birokrasi sekarang sudah menjadi sarang terjadinya tindak pidana korupsi. Amunisi macam apakah yang kemudian bisa digunakan untuk memberantasnya. Belajar dari teori yang diajarkan Weber tentang konsep idealitas, Alatas kemudian berkeyakinan bahwa suatu masyarakat masih mempunyai peluang untuk keluar dari belenggu korupsi, apabila masih ada segelintir orang yang idealis dalam masyarakat. Akan tetapi keyakinan ini dibantah oleh Chambliss, dia melihat bahwa perubahan dari dalam masyarakat itu sendiri, akan mengalami jalan buntu jika korupsi sudah membentuk suatu jejaring (cabal) yang melibatkan berbagai unsur masyarakat.[7]
Lahirnya Konvensi PBB Anti Korupsi 2003 setidaknya bisa menjadi jawaban dalam upaya pemberantasan korupsi seperti yang dikhawatirkan oleh Chambaliss. Selain tipologi yang dikemukakan oleh Alatas[8] dan model jejaring yang diajarkan oleh Chambaliss, Aditjondro juga memberikan pemikiran baru tentang korupsi, yaitu model korupsi tiga lapis. Aditjondro telah mengawinkan pemikiran yang dikemukanan oleh Alatas yang berbasiskan pada korupsi yang terjadi pada suatu nation state (negara bangsa), dengan pemikiran yang dikemukakan oleh Chambaliss, yang mengatakan bahwa korupsi telah mempertemukan unsur birokrat, politisi, pengusaha, dan aparat penegak hukum, dimana kepentingan anggota jejaring dilindungi lewat sogokan maupun tekanan fisik. Lewat perkawianan antara tipologi Alatas dan jejaring korupsi model Chambaliss, selanjutnya Aditjondro melahirkan model korupsi tiga lapis, yaitu terdiri dari:[9] Korupsi lapis pertama, dimana permintaan untuk diberi balas jasa berasal dari para birokrat atau pejabat pelayanan publik, yang diajukan kepada masyarakat. Korupsi lapis kedua, dimana lahir jejaring korupsi antara birokrat, politisi, aparat penegak hukum, dan perusahaan yang memperoleh perlakuan istimmewa. Korupsi lapis ketiga, yakni korupsi yang melibatkan organ-organ internasional, termasuk di dalamnya lembaga-lembaga donor yang memberikan bantuan untuk program anti korupsi.
Melihat rumit dan sistemiknya jejaring korupsi yang ada sekarang, maka diperlukan satu usaha bersama baik yang sifatnya lokal, nasional, maupun internasional. Ratifikasi UN Convention Againts Corruption 2003 oleh Indonesia, diharapkan akan banyak membantu dalam melakukan pengejaran dan penegakan terhadap para koruptor yang sudah masuk dalam jejaring tiga lapis tersebut. Karena, berdasar ketentuan yang ada pada konvensi, konvensi ini memberikan semacam terminologi dan pandangan baru tentang korupsi dan pelakunya, sehingga konvensi ini dapat menyeret semua aspek sebagaimana dikemukakan oleh Aditjondro. Namun, selain dengan upaya dari luar, seperti pemberlakuan konvensi internsional, upaya dari dalam juga masih memiliki peranan penting. Seperti halnya, bagaimana merubah budaya para pejabat publik yang minta dilayani, bukan melayani masyarakat. Padahal raison d’etre dari kantor pelayanan umum adalah bagaimana melayani masyarakat umum dengan baik. J.S. Mill mengatakan bahwa esensi dan arti birokrasi adalah pekerjaan menjalankan pemerintahan oleh orang-orang yang memerintah secara profesional.[10]
Di sinilah tugas berat pemerintah dan seluruh massa rakyat Indonesia untuk mengubah kultur yang telah berjalan puluhan tahun, bagaiaman melahirkan pejabat publik yang mampu bersikap dan bertindak profesional. Dalam hal ini Machiavelli memberikan jawaban lewat pemikiran politiknya, yaitu agar ratu (penguasa) memilih para menteri (pejabat) yang kompeten, dan memberikan imbalan atas kesetiaan mereka, agar mereka tidak lagi perlu mencari imbalan dari sumber-sumber lainnya.[11] Akan tetapi, pemikiran Machiavelli tidak kemudian dijadikan alasan untuk menaikkan anggaran gaji dan tunjangan pegawai secara serampangan, dengan menggunakan kekuatan legal formal, tanpa melihat kondisi sosial yang sedang terjadi. Catatan lain, seperti dikemukanan oleh Aditjondro adalah: jangan sampai korupsi hanya dilihat sebagai permasalahan finansial belaka, yang diharapkan dapat dipecahkan lewat pambaruan undang-undang (legal reform) dan penerapan undang-undang yang sudah ada (law enforcement), sambil mengharapkan lembaga peradilan yang sudah begitu korup mampu menyeret sejumlah koruptor kelas kakap ke muka meja hijau.[12]
Selain itu, hendaknya kita juga berhati-hati dalam mengkampanyekan gerakan anti korupsi, sebab banyak agenda yang berlindung di dalamnya, seperti halnya agenda good governance yang bersembunyi di balik agenda anti korupsi, padahal tanpa disadari good governance tidak berdiri sendiri. Good governance merupakan bagian dari paradigma neo-liberalisme, yang sedang dikampanyekan oleh Bank dunia dan agen-agen neoliberal lainnya, IMF, WTO dan negara-negara maju yang mengedapankan unsur kapitalistik.[13] Hal ini berkaitan erat dengan upaya untuk menyelamatkan dana-dana bantuan yang dikucurkan oleh lembaga-lembaga donor dan negara-negara donor kepada Negara-negara Dunia Ketiga, dari perbuatan korup sebagian unsur kekuasaan. Lebih jauh, agenda ini berkaitan dengan upaya untuk menyingkirkan unsur negara/pemerintah dari sistem pelayanan umum, sebagaimana agenda besar neoliberal, yakni matinya negara bangsa (nation state),[14] dan digantikan oleh perusahaan-perusahaan swasta asing, atau dengan kata lain pemerintahan tunggal dunia di bawah kuasa modal. Oleh karena itu, kearifan lokal (local wisdom) adalah komponen utama dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi, selain ditopang oleh kekuatan-kekuatan asing yang sifatnya internasional.
ENDNOTE:
[1] Wahyudi Kumorotomo, Akuntabilitas Birokrasi Publik, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), hal. V.
[2] Martin Albrow, Op.Cit., (hal.34-40.
[3] Weber tidak pernah mendefinisikan birokrasi, menurutnya apa yang dikerjakannya secar hati-hati adalah merinci segi-segi yang dipandangnya sebagi bentuk birokrasi (khusu) yang paling rasional. Sedangkan tipew birokrasi yang umum, sebagi lawan birokrasi khusus dibentuknya melalui kesimpulan dari sejumlah besar kiasan yang dinuatnya tentang hal itu. Akan tetapi, perkembangannya dalam masyuarakat modern, birokrasi dapat menjadi kerangkeng besi/ iron cage (Aditjondro, 2002).
[4] Jurnal Wacana Edisi 14 Tahun III 2002, Korupsi; Sengketa Antara Negara dan Modal, (Yogyakarta: Insist Press), hal. 51. diambil dari Denny B.C. Hariandja, 1999. Lihat juga Martin Albrow, Birokrasi (terj), (Yogyakarta: Tiara Wacana 2005), hal.44-45.
[5] Ibid. hal. 41-42.
[6] Ibid. hal. 48-49.
[7] George Junus Aditjondro, Bukan Persoalan Telur dan Ayam: Membangun Suatu Kerangka Analisis yang Lebih Holistik bagi Gerakan Anti Korupsi di Indonesia, Jurnal Wacana Edisi 14 Tahun III 2002 (Yogyakarta: Insisit Press), hal. 20.
[8] Tipologi korupsi Alatas terdiri dari ‘sogokan’ (bribery), ‘pemerasan’ (extortion), dan ‘nepotisme.’
[9] Ibid. hal. 21-23.
[10] Martin Albrow, Op.Cit. ,hal. 8.
[11] Ibid., hal. 2. Diambil dari N. Machiavelli, The Prince, bab. 22.
[12]Geoge Junus Aditjondro, Tarik Tambang Wacana ‘Korupsi’: Bidan Neoliberalisme atau Ujung Tombak Demokratisasi?, Jurnal Wacana Edisi 14 tahun III 2002 (Yogyakarta: INSIST Press), hal. 8.
[13] Lihat : Aditjondro, 2002. Mansour Fakih, 2002. Abrahamses, 2004.
[14] Lihat F. Wahono dan I. Wibowo, 2003. Kholid Syaerozi, 2003.
Sumber: http://wahyudidjafar.wordpress.com/2008/08/08/pers...
19. Sejarah Kemunculan Asas Legalitas
Oleh: Wahyudi Djafar
[Sumber dari Bloglaw wahyudidjafar.wordpress.com]
Pada Jaman Romawi Kuno dikenal adanya istilah criminal extra ordinaria, yang berarti kejahatan-kejahatan yang tidak disebutkan dalam undang-undang. Ketika hukum Romawi kuno diterima oleh raja-raja Eropa Barat, istilah criminal extra ordinaria diterima pula. Kondisi ini kemudian memungkinkan raja-raja yang berkuasa untuk bertindak sewenang-wenang terhadap perbuatan-perbuatan –yang dikatakan jahat-, namun belum diatur di dalam undang-undang. Lahirnya Magna Charta Libertatum di Inggris pada 1215 merupakan salah bentuk reaksi terhadap praktik kesewenang-wenangan raja di masa itu. Ini adalah fase pertama ketika manusia mulai memikirkan dan memperjuangkan hak-haknya sebagai manusia. Upaya penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia sebenarnya telah ada sebelum lahirnya Magna Charta. Kitab suci agama Hindu, Veda, telah membicarakan perlunya penghormatan atas hak-hak asasi manusia sejak 3000 tahun yang lalu. Piagam Madinah yang ditandatangani Nabi Muhammad SAW pada abad ke 6 Masehi, sebenarnya juga merupakan deklarasi kesepakatan penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia.[1]
Asas legalitas yang dikenal dalam hukum pidana modern muncul dari lingkup sosiologis Abad Pencerahan yang mengagungkan doktrin perlindungan rakyat dari perlakuan sewenang-wenang kekuasaan. Sebelum datang Abad Pencerahan, kekuasaan dapat menghukum orang meski tanpa ada peraturan terlebih dulu. Saat itu, selera kekuasaanlah yang paling berhak menentukan apakah perbuatan dapat dihukum atau tidak. Untuk menangkalnya, hadirlah asas legalitas yang merupakan instrumen penting perlindungan kemerdekaan individu saat berhadapan dengan negara. Dengan demikian, apa yang disebut dengan perbuatan yang dapat dihukum menjadi otoritas peraturan, bukan kekuasaan. Perlindungan terhadap hak-hak rakyat banyak yang pada mulanya dilakukan melalui perjuangan dengan asas politik, yakni dengan menghadapkan kepentingan rakyat vis a vis kekuasaan raja yang absolut. Akar gagasan asas legalitas berasal dari ketentuan Pasal 39 Magna Charta (1215) di Inggris, yang menjamin adanya perlindungan rakyat dari penangkapan, penahanan, penyitaan, pembuangan, dan dikeluarkannya seseorang dari perlindungan hukum/undang-undang, kecuali ada putusan peradilan yang sah. Ketentuan ini diikuti Habeas Corpus Act (1679) di Inggris yang mengharuskan seseorang yang ditangkap diperiksa dalam waktu singkat. Pasca lahirnya Magna Charta dan Habeas Corpus Act, jaminan atas hak dan kewajiban rakyat kemudian berubah menjadi asas-asas hukum. Asas-asas hukum ini dirumuskan dalam hukum tertulis, agar memiliki jamian kepastian hukum (rechtszekerheid). Pelopor perjuangan politik dan hukum di Inggris adalah John Locke (1760).[2]
Perjuangan rakyat Inggris tersebut kemudian berkembang hingga ke Perancis, sebagai bentuk perlawanan atas kesewenag-wenangan raja Louis XIV, dengan simbol Penjara Bastille sebagai simbol kekuasaan raja yang despotis. Perjuangan rakyat Perancis dipengaruhi oleh dua orang filsuf paling terkemuka Abad Pencerahan, Charles Montesquieu (1689-1755) dan Jean Jacques Rousseau (1712-1778). Montesquieu lewat bukunya L’esprit des Lois (1748) dan bukunya Rousseau “Dus Contrat Social, ou principes du droit politique” (1762) memperkenalkan pemikiran asas legalitas, sebagai bentuk perlawanan terhadap konsep Let’s ces moi, yang didengungkan Raja Louis. Selain dipengaruhi oleh kedua filsuf tersebut perkembangan asas legalitas di Perancis juga dipengaruhi oleh Marquis de Lafayette, seorang sahabat George Washington, yang membawa pemikiran asas legalitas dari Amerika ke Perancis. Di Amerika, ketentuan asas legalitas sudah dicantumkan dalam Declaration of Independence 1776, di sana disebutkan tiada seorang pun boleh dituntut atau ditangkap selain dengan, dan karena tindakan-tindakan yang diatur dalam, peraturan perundang-undangan. Pemikiran asas legalitas kemudian diimplementasikan sebagai undang-undang dalam Pasal 8 Declaration des droits de L’homme et du citoyen (1789). Asas ini kemudian dimasukkan dalam Pasal 4 Code Penal Perancis pada masa pemerintahan Napoleon Bonaparte (1801). Bunyi ketentuan ini adalah bahwa “ Tidak ada sesuatu yang boleh dipidana selain karena suatu wet yang ditetapkan dalam undang-undang dan diundangkan secara sah.”[3] Beccaria, dalam “Dei delitti e drllee pene” (Over misdaden en straffen 1764) juga menyatakan bahwa individu harus dilindungi dari perbuatan sewenang-wenang. Oleh karenanya perlu dibuat suatu hukum sebelum delik itu terjadi. Hukum itu harus mengatur dengan jelas dan tegas, sehingga bisa memberi petunjuk dalam menjalankan peradilan pidana.[4]
Perjalanan selanjutnya, Von Feuerbach seorang sarjana Jerman, merumuskan adagium “Nullum delictum, nulla poena sine praevia lege poenali.” Bahwa tidak delik, tidak ada pidana tanpa peraturan lebih dahulu. Adagium ini terkandung dalam bukunya Lehrbuch des peinlichen Rechts (1801). Asas legalitas yang dikemukakan oleh Feuerbach mengandung tiga pengertian:[5]
1. Tidak ada perbuatan dapat dipidana, apabila belum diatur dalam undang-undang.
2. Dalam menentukan adanya perbuatan pidana tidak boleh digunakan analogi.
3. Aturan-aturan hukum pidana tidak berlaku surut (non retroaktif).
Ketentuan asas legalitas diakui pertama kali oleh konstitusi Amerika Serikat tahun 1783, dicantumkan dalam Article I Section 9 yang berbunyi: “No bill of attainder or ex post pacto law shall be passed”. Lalu diikuti oleh Perancis di dalam Declaration des droits de L’homme et du citoyen 1789. Selanjutnya ketentuan ini diikuti oleh negara-negara yang menganut sistem hukum Eropa Kontinental –kepastian hukum dijunjung tinggi-.
Tujuan yang ingin dicapai dari asas legalitas itu sendiri adalah memperkuat kepastian hukum, menciptakan keadilan dan kejujuran bagi terdakwa, mengefektifkan fungsi penjeraan dalam sanksi pidana, mencegah penyalahgunaan kekuasaan, dan memperkokoh rule of law.[6] Di satu sisi asas ini memang dirasa sangat efektif dalam melindungi hak-hak rakyat dari kesewang-wenangan penguasaa. Namun, efek dari pemberlakuan ketentuan asas legalitas adalah, hukum kurang bisa mengikuti perkembangan pesat kejahatan. Ini menjadi kelemahan mendasar dari pemberlakuan asas legalitas. E Utrecht mengatakan, asas legalitas kurang melindungi kepentingan-kepentingan kolektif (collectieve belangen), karena memungkinkan dibebaskannya pelaku perbuatan yang sejatinya merupakan kejahatan tapi tidak tercantum dalam peraturan perundang-undangan. Jadi, paradigma yang dianut asas ini adalah konsep mala in prohibita (suatu perbuatan dianggap kejahatan karena adanya peraturan), bukan mala in se (suatu perbuatan dianggap kejahatan karena tercela).[7]
Penyimpangan Terhadap Ketentuan Asas Legalitas
Pada perkembangannya kejahatan dikategorikan menjadi dua kriteria, kejahatan yang sifatnya nasional dan kejahatan yang sifatnya internasional. Kejahatan nasional adalah kejahatan yang dianggap sebagai suatu perbuatan jahat menurut masyarakat di suatu negara. Untuk itu kejahatan nasional ditentukan oleh masyarakat dan lembaga pembentuk undang-undang di suatu negara. Sementara kejahatan internasional adalah kejahatan yang dianggap oleh masyarakat internasional sebagai perbuatan jahat. Penentuan jenis kejahatan internasional dilakukan atas dasar suatu kebiasaan yang terpelihara dikalangan negara-negara. Selanjutnya kebiasaan ini kemudian dikodifikasikan dalam suatu bentuk perjanjian yang sifatnya multilateral (banyak negara). Setelah melalui pertimbangan di dalam negeri masing-masing peserta perjanjian, maka hasil perjanjian tersebut akan diratifikasi/diadopsi ke dalam hukum nasional masing-masing negara peserta. Sampai sekarang yang dikenal dengan kejahatan internasional adalah kejahatan bajak laut dan bentuk kejahatan yang disebutkan dalam statuta pembentukan International Criminal Court (ICC), yaitu melipuiti: Kejahatan genosida, Kejahatan terhadap kemanusian, Kejahatan perang, Kejahatan melancarkan perang agresi. Dalam ketentuan hukum internasional, konsep pemberlakuan asas retroaktif hanya boleh diterapkan terhadap bentuk-bentuk kejahatan internasional, yaitu bentuk-bentuk kejahatan yang telah disebutkan dalam statuta pembentukan Mahkamah Pidana Internasional.
Pemberlakuan asas retroaktif (penyimpangan terhadap asas legalitas) sejatinya bukan hal baru dalam dunia hukum. Proses peradilan penjahat perang Nuremberg (1946), Tokyo (1948), Rwanda (1993) dan Yugoslavia (1996) adalah deretan contoh pemberlakuan asas berlaku surut untuk menyeret para tersangka ke depan meja hijau. Penerapan asas retroaktif secara terbatas ini jelas membuktikan bahwa asas hukum non-retroaktif bukan lagi asas hukum yang bersifat universal. Indonesia sebagai negara yang menempatkan prinsip legalitas dapat menerapkan asas retroaktif dalam suatu kasus pidana yang memiliki kekecualian dalam sifatnya. Misalnya, diterapkan terhadap kasus dalam hukum pidana yang berkaitan dengan kejahatan yang dinamakan criminal extra ordinaria[8] atau kejahatan yang tidak ada pengaturannya dalam hukum tertulis. Asas retroaktif juga diterapkan terhadap kasus yang mengakibatkan pembalasan atau asas (lex talionis), tidak adanya kepastian hukum dan dikhawatirkan dapat menimbulkan kesewenangan dari pelaksana hukum dan elite politik dengan akibat eksesif adanya suatu balas dendam politik, yang berakibat chaos-nya suatu negara.
ENDNOTE:
[1] Mansor Faqih, Menegaskan kembali Komitemen HAM, dalam Jurnal Wacana Edisi 8 Tahun II 2001, hal. 4.
[2] Bambang Purnomo, Asas-Asas Hukum Pidana, 1994, (Jakarta: Ghalia Indonesia), hal. 68-69.
[3] Molejatno, Asas-Asas Hukum Pidana, 2002, (Jakarta: Rineka Cipta), hal. 24.
[4] Bambang Purnomo, op.cit, hal. 69.
[5] Moeljatno, op.cit, hal. 25.
[6] A Ahsin Thohari, Dimensi Historis Asas Retroaktif, dalam www.kompascybermedia.com, 19 Februari 2005, dikutip dari Muladi, 2002.
[7] Ibid.
[8] Seperti halnya perdebatan yang muncul dalam sejarah lahirnya asas legalitas di jaman Romawi Kuno, dimana disinggung bentuk-bentuk kejahatn yang tidak diatur di dalam undang-undang.
Sumber: http://wahyudidjafar.wordpress.com/

20 . Asas Legalitas dalam Doktrin Hukum Indonesia
Oleh: Wahyudi Djafar
[Sumber dari: Bloglaw wahyudidjafar.wordpress.com]
Salah satu keberhasilan kekuasaan Napoleon Bonaparte adalah dia berhasil mengokupasi beberapa wilayah Eropa di sekitar Perancis, termasuk Nederland. Napoleon menjadikan Nederland sebagai daerah persemakmuran Perancis dengan nama Republik Bataaf. Republik ini diserahkan kepada adik Napoleon (Napoleon III). Konsekuensi logis dari okupasi ini adalah Nederland harus mengikuti ketentuan hukum yang berlaku di Perancis, termasuk Code Penal Perancis. Ketika penjajahan Perancis di Nederland sudah berakhir, Belanda mengadopsi ketentuan asas legalitas dalam Pasal 1 Wetboek van Stafrecht Nederland 1881. Karena berlakunya asas konkordansi anatara Nederland dan Hindia Belanda, maka masuklah ketentuan asas legalitas dalam Pasal 1 Wetboek van Stafrecht Hindia Belanda 1918.
Selanjutnya asas umum dalam semua hukum menyatakan bahwa undang-undang hanya mengikat apa yang terjadi dan tidak mempunyai kekuatan surut. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 6 Algemene Bepalingen van wetgeving voor Nederlands Indie (AB) Staatsblad 1847 Nomor 23. Ketentuan yang bisa menyatakan suatu undang-undang/aturan berlaku surut hanyalah ketentuan yang secara hirarki tingkatannya lebih tinggi dari undang-undang itu sendiri (undang-undang dasar/konstitusi). Artinya suatu undang-undang tidak bisa menyimpangi ketentuan non retroaktif, apabila konstitusi tidak memberikan kewenangan untuk penyimpangan itu. Setelah Proklamasi 17 Agustus 1945, Indonesia mengalami perubahan hukum, dari hukum kolonial berubah menjadi hukum nasional. Perubahan ini juga ditandai dengan diundangkannya Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pada 18 Agustus 1945, yang selanjutnya akan dijadikan pijakan dalam penyusunan undang-undang di bawahnya.
Selain akan dibentuk aturan-atauran hukum baru, dalam undang-undang dasar ini juga berlaku ketentuan peralihan, Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 (sebelum amandemen) menyatakan, “Segala badan negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini.” Ini berarti peraturan perundang-undangan yang ada pada masa kolonial masih akan tetap berlaku, sebelum dikeluarnya ketentuan baru menurut UUD 1945. Termasuk di dalamnya ketentuan Pasal 1 KUHPidana (Wetboek van Stafrecht), yang menegaskan berlakuanya asas legalitas dan non retroaktif.
Mengapa ketentuan ini kemudian perlu dibicarakan? Sebab aturan-aturan yang ada dalam Undang-Undang Dasar 1945 (sebelum amandeman), tidak ada satu pasal pun yang menyatakan secara tegas dan eksplisit tentang berlakunya asas legalitas dan non retroaktif. Berarti, secara teoritis UUD 1945 (sebelum amandemen) memberi kesempatan untuk melakukan penyimpangan terhadap ketentuan asas legalitas, karena tidak ada pasal-pasalnya yang merumuskan ketentuan asas legalitas.[1]
Sesaat setelah pembubaran Republik Indonesia Serikat (RIS) pada 17 Agustus 1950, Indonesia menggunakan Undang-Undang Dasar Sementara 1950, sebagai pengganti Konstitusi RIS, dan menunggu disusunnya undang-undang dasar baru. Dalam ketentuan Undang-Undang Dasar Sementara 1950 dicantumkan ketentuan berlakunya asas legalitas, ketentuan ini terdapat dalam Pasal 14 ayat (2) yang berbunyi, “Tidak seorang juapun boleh dituntut untuk dihukum atau dijatuhi hukuman, kecuali karena suatu aturan hukum yang sudah ada dan berlaku terhadapnya.” Kemudian untuk melindungi ketentuan hukum pidana adat, yang tidak tertulis, agar tetap berlaku, serta menjunjung tinggi ketentuan asas legalitas, maka dikeluarkan ketentuan dalam Pasal 5 ayat (3b) Undang-Undang Darurat No. 1 Tahun 1951, yang berbunyi:
”Hukum materiil sipil dan untuk sementara waktu pun hukum materiil pidana sipil yang sampai kini berlaku untuk kaula-kaula daerah Swapraja dan orang-orang yang dahulu diadili oleh Pengadilan Adat, ada tetap berlaku untuk kaula-kaula dan orang itu, dengan pengertian : bahwa suatu perbuatan yang menurut hukum yang hidup harus dianggap perbuatan pidana, akan tetapi tiada bandingnya dalam Kitab Hukum Pidana Sipil, maka dianggap diancam dengan hukuman yang tidak lebih dari tiga bulan penjara dan/atau denda lima ratus rupiah, yaitu sebagai hukuman pengganti bilamana hukuman adat yang dijatuhkan tidak diikuti oleh pihak terhukum dan penggantian yang dimaksud dianggap sepadan oleh hakim dengan besar kesalahan yang terhukum, bahwa, bilamana hukuman adat yang dijatuhkan itu menurut fikiran hakim melampaui padanya dengan hukuman kurungan atau denda yang dimaksud di atas, maka atas kesalahan terdakwa dapat dikenakan hukumannya pengganti setinggi 10 tahun penjara, dengan pengertian bahwa hukuman adat yang menurut faham hakim tidak selaras lagi dengan zaman senantiasa mesti diganti seperti tersebut di atas, dan bahwa suatu perbuatan yang menurut hukum yang hidup harus dianggap perbuatan pidana dan yang ada bandingnya dalam Kitab Hukum Pidana Sipil, maka dianggap diancam dengan hukuman yang sama dengan hukuman bandingnya yang paling mirip kepada perbuatan pidana itu.”
Pada perjalanan selanjutnya ternyata Indonesia tidak mampu membentuk undang-undang dasar baru. Dewan Konstituante hasil Pemilu 1955, yang diberi tugas menyusun undang-undang dasar baru tidak mampu menyelesaikan tugasnya secara cepat, sebagai akibat dari pertentangan kepentingan partai-partai, yang tidak pernah menemukan titik temu. Akhirnya pada tanggal 5 Juli 1959, Presiden Sukarno, melalui Dekrit Presiden menyatakan pembubaran Dewan Konstituante, penggunaan kembali Undang-Undang Dasar 1945 dan tidak berlakunya Undang-Undang Dasar Sementara 1950. Namun ketentuan dalam Pasal 5 ayat (3b) Undang-undang Darurat No. 1 Tahun 1951, dinyatakan tetap berlaku, walaupun ketentuan UUDS 1950 sudah tidak berlaku lagi.
Seiring dengan berlakunya kembali UUD 1945 (asli), maka berarti pula ketentuan yang mengatur tentang berlakunya asas legalitas dalam hukum Indonesia tidak ada lagi. Meskipun pada kenyataannya ketentuan peraturan perundang-undangan yang berada di bawah Undang-Undang Dasar 1945, tidak ada yang menyimpangi ketentuan asas legalitas dan non retroaktif. Hal ini dikarenakan UUD 1945 tidak secara tegas juga menyebutkan adanya ketentuan yang memperbolehkan penyimpangan terhadap asas legalitas dan non retroaktif.
Masa Orde Lama di bawah rezim Sukarno, banyak menawarkan konsep-konsep baru di luar UUD 1945, seperti halnya MANIPOL USDEK, NASAKOM, dan beberapa gagasan baru, yang boleh dikatakan menyimpang dari ketentuan undang-undang dasar. Pada akhirnya kekuasaan Sukarno tumbang, dan digantikan oleh rezim Orde Baru pimpinan Suharto, belajar dari pengalaman masa sebelumnya yang banyak melakukan penyimpangan terhadap konstitusi, maka tema besar pemerintahan Orde Baru adalah menjalankan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Akan tetapi terminologi secara murni dan konsekuen yang terlalu dipaksakan, akibatnya malah membuat undang-undang dasar terkesan kaku, UUD 1945 dianggap sebagai sesuatu yang sakral dan tidak boleh diganggu gugat. Perkembanganya UUD 1945 malah dijadikan dalih dalam melegalkan tindakan represifitas penguasa yang sewenang-wenang. UUD 1945 dijadikan alat untuk memupuk kekuatan ekonomi bagi sekelompok masyarakat tertentu. Model pembangunan rezim Suharto yang menganut ideologi developmentalism mensyaratkan adanya stabilitas politik dan keamanan yang kuat sebagai harga mati. Akibatnya memungkinakan rezim untuk mengabaikan hak-hak politik rakyat dan Hak Asasi Manusia. Di tingkat global, wacana globalisasi mulai diusung sejak pertengahan 80-an. Konsekuensi dari kemenangan kelompok kanan baru (new right) ini ialah, ditempatkannya isu demokratisasi pada bagian penting, dalam pergerakan modal internasional. Secara khusus, sistem kapitalisme negara yang dijalankan di Indonesia, tidak lagi efektif bagi perputaran modal. Kemudian muncullah tuntutan bagi rezim untuk membuka diri terhadap desakan liberalisasi politik dan ekonomi. Di beberapa belahan negara Dunia Ketiga, inilah awal dimulainya proyek redemokratisasi, yang ditandai oleh kejatuhan rezim-rezim otoriter. Akhirnya, pada 21 Mei 1998 rezim neo-fasis militer Orde Baru runtuh. Konsekuensi dari tumbangnya rezim Suharto adalah adanya upaya untuk mencapai sistem politik yang mengarah pada demokrasi subtansial.[2] Artinya bagaimana kemudian sistem demokrasi yang selama ini kita anut bisa mencapai substansi dari sistem demokrasi itu sendiri. Penyelenggaraan Pemilu 1999 menjadi proses penting dalam upaya tersebut.
Tidak ingin mengulangi pengalaman pahit dimasa yang lampau, yaitu munculnya penguasa despotis, yang melegitimasi dirinya dengan naskah-naskah suci konstitusi, segeralah muncul suara-suara untuk melakukan amandemen terhadap Undang-Undang Dasar 1945. Sidang amandemen pertama berhasil diputuskan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat pada tanggal 19 Oktober 1999. Selanjutnya berlangsung hingga empat kali proses amandemen. Rapat paripurna Majelis Permusyawaratan Rakyat guna memutuskan perubahan ke empat UUD 1945 berlangsung pada 10 Agustus 2002. Empat kali proses amandemen UUD 1945 membuat ketentuan pasal-pasal yang ada menjadi lebih rinci dan memberikan kepastian hukum.
Mengenai pencantuman asas legalitas dan prinsip non retroaktif, untuk lebih menjamin adanya kepastian hukum bagi warga negara, UUD 1945 pascaamandemen kembali memasukkan ketentuan tersebut dalam pasal-pasalnya. Ketentuan yang mengatur pengakuan terhadap asas legalitas dan prinsip non retroaktif diatur dalam BAB XA Tentang Hak Asasi Manusia Pasal 28 I ayat (1). Dengan masuknya ketentuan ini dalam Undang-Undang Dasar 1945, berarti UUD 1945 tidak memberikan peluang lagi untuk melakukan penyimpangan terhadap asas legalitas dan prinsip non retroaktif, karena sudah dengan jelas tersurat dalam pasal tersebut menyatakan “…, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.” Kata-kata yang tidak dapat dikurangi dalam keadaaan apapun memberikan penegasan bagi ketentuan pasal tersebut, bahwa konstitusi tidak lagi memberikan peluang bagi berlakunya suatu aturan yang menganut prinsip berlaku surut (retroaktif). Bambang Purnomo mengatakan, untuk melakukan penyimpangan asas legalitas dan memperlakukan suatu undang-undang berlaku surut harus dibuat suatu peraturan khusus yang mengatur hal tersebut, dan undang-undang dasar membolehkan untuk itu. Hal itu boleh dilakukan pun apabila keadaan kepentingan umum dibahayakan dan hanya terhadap perbuatan-perbuatan yang menurut sifatnya membahayakan kepentingan umum.[3]
[1] Bambang Purnomo, Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1994), hal. 71.
[2] Sebelumnya Indonesia hanya terjebak dalam demokrasi prosedural.
[3] Bambang Purnomo, op.cit. Hal.71.

Share this post!

Bookmark and Share

0 comments:

Post a Comment